Dekonstruksi Teknologi Informasi

Wednesday, June 22, 2005

Weekly Review: Ketika Ponsel Menabrak Pakem Privasi

Rabu , 22/06/2005 12:45 WIB
Weekly Review: Ketika Ponsel Menabrak Pakem Privasi
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review) Adalah sebuah teknologi bernama telepon selular (ponsel), yang kemudian melahirkan sebuah budaya baru bagi masyarakat di dunia yang sudah sangat renta ini, yaitu "budaya mobilitas" (culture of mobility). Budaya bergerak inilah yang kemudian menginspirasikan sekian banyak para pemuja piranti teknologi informasi (TI) untuk dapat berkomunikasi kapan dan di mana saja. Bahkan salah satu produsen ponsel terkemuka, menjadikan budaya mobilitas tersebut sebagai salah satu pameo budaya kerja mereka.

Para penganut budaya mobilitas percaya bahwa ruang dan waktu tidak lagi menjadi sesuatu batasan dalam bekerja, berkomunikasi dan beraktifitas. Dengan mengadopsi budaya mobilitas, kantor Anda adalah diri Anda sendiri. Kantor Anda ter-embedded pada diri Anda, kemanapun Anda pergi.

Anda bahkan bisa "melipat dunia", hanya bermodalkan sebuah ponsel. Teleworking, telecommuting, teleconference dan bertele-tele lainnya, kini sudah bisa dilayani oleh ponsel. Tentunya ponselnya juga harus yang canggih punya, bukan yang sekelas "jutaan umat" pada beberapa tahun silam yang laris-manis walaupun keunggulannya hanya pada game uler-uleran-nya.

Kini ponsel dengan kelengkapan kamera untuk still image hingga video, dengan resolusi yang semakin membaik, adalah pilihan bagi mereka yang berduit cukupan. Bluetooth dan MMS pun adalah suatu keharusan ketika mereka memutuskan untuk membeli ponsel. Digunakan atau tidak itu urusan nanti, mungkin ngerti fungsi dan memfungsikannya pun tidak. Pokoknya, nge-trend gitu lho!

Celakanya, suatu budaya tak lebih dari sekedar hasil kreasi akal-budi manusia yang kerap tak dilengkapi dengan "buku manual", termasuk budaya mobilitas tersebut. Sehingga mereka yang hidup di dan dengan budaya tersebut kemudian mudah menjadi gamang ketika menyadari bahwa bersama budaya mobilitas ternyata ikut pula terbawa beberapa dampak yang dapat memukul balik para pengikutnya. Mereka tak siap menghadapinya.

Budaya mobilitas (baca: ponsel) ternyata juga "menabrak" pakem privasi, yaitu dengan nyasarnya konten pornografi hingga ke tempat privat dan nyasarnya konten privat hingga ke tempat publik.

Konten Porno ke Tempat Privat

Untuk dampak yang pertama, yaitu nyasarnya konten pornografi hingga ke tempat privat, ini sempat menjadi headline di tabloid Nakita (nomor 316, tahun VII, 23 April 2005) beberapa waktu lalu. Diberitakan dalam tabloid tersebut, bahwa anak-anak usia dini yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), sangat rentan terpapar konten pornografi melalui ponsel yang dibawanya. "Pornografi di Ponsel Anak, Banyak Anak SD Jadi Sasaran!", demikian tabloid tersebut menuliskan besar-besar judul beritanya pada halaman depan.

Memang dengan membekali ponsel ke anak, orang tua akan bisa selalu berkomunikasi kapan saja dengan anaknya. Masalahnya, baik orang tua maupun si anak ternyata tidak terlalu paham tentang fitur-fitur ponsel. Walhasil, si anak dibekali ponsel yang tercanggih, lengkap dengan fasilitas MMS-nya, yang kemudian menjadi salah satu target konten porno yang nyasar.
Ponsel sebagai sarana komunikasi yang paling privat antara orangtua dan anak, pun ternyata dapat dikotori dengan konten-konten porno dari antah-berantah.

Padahal urusannya simpel saja. Jangan berikan ponsel yang canggih untuk digunakan oleh anak. Berikan saja ponsel dengan fitur paling minim, cukup telepon dan SMS saja. Paling banter harga barunya hanya setengah jutaan saja. Daripada memanjakan anak dengan teknologi tercanggih, yang akhirnya malah jadi berabe.

Konten Privat ke Tempat Publik

Kemudian, dampak kedua ini juga tidak kalah seru. Kini di Internet semakin banyak berseliweran gambar-gambar (still image) ataupun cuplikan video (video clip) dengan konten lokal yang cukup "panas"! Konten-konten tersebut kuat diduga diambil dengan menggunakan fasilitas kamera pada yang sudah built-in pada banyak ponsel keluaran terkini.

Misalnya ada sebuah video clip yang menggambarkan suasana di dalam ruang kelas dengan beberapa siswi menggunakan baju seragam berlambang OSIS, kemudian saling mempertunjukkan beberapa bagian tubuh mereka yang sebelumnya tertutup oleh baju seragam. Beberapa mailing-list (milis) yang turut mendistribusikan konten-konten tersebut kerap mempercayai bahwa para obyek dalam konten tersebut adalah siswi SMU negeri yang cukup terkenal di Jakarta.

Selain itu, kini tengah heboh penyebaran konten video clip seseorang perempuan yang diklaim sangat mirip Mawar, juara 2 AFI. Bahkan banyak pula yang yakin bahwa obyek dalam video clip tersebut memang benar Mawar itu sendiri. Dalam konten tersebut si perempuan tengah dilulur dan tampak setengah badan ke atas tanpa busana. Sembari dilulur, ada seorang rekannya yang merekam menggunakan sebuah ponsel dan tampak akrab bercakap-cakap dengan perempuan tersebut. Tablod Star Nova (nomor 142, tahun III, Mei 2005) bahkan memajang besar-besar judul "Adegan Panas Mawar AFI Beredar!" pada halaman depannya.

Yang menarik dari kedua contoh di atas adalah, bahwa baik antara si perekam gambar maupun pihak yang direkam gambarnya, ternyata sama-sama saling kenal, berinteraksi secara langsung saat penggambilan gambar dan tampak tidak adanya unsur paksaan. Dan bukan tidak mungkin, para pihak yang terlibat tersebut memang tidak pernah punya itikad untuk menyebarluaskan "hasil karya" mereka. Toh memang tidak salah ketika berkreasi sesuatu untuk koleksi pribadi atau terbatas.

Lalu mengapa koleksi pribadi tersebut bisa meluncur bebas di Internet? Salah satu hasil analisis yang masuk akal adalah karena koleksi tersebut "dicuri". Karena dengan berbagai trik yang tidak terlalu sulit, kini konten apapun yang ada di ponsel berfitur canggih, akan dapat disadap. Lupa mematikan fitur bluetooth di tempat umum misalnya, ditambah dengan sedikit kecerobohan dalam menjawab pesan yang muncul di layar ponsel, akan mengakibatkan seluruh isi ponsel dapat dikopi oleh seseorang yang antah-berantah.

Mobilitas vs Permisifitas

Kalau sudah begini keadaannya, maka tak ada hal lain yang bisa kita lakukan, selain lebih cerdas dalam memilih dan menggunakan teknologi. Sekedar mengikuti tren tanpa pengetahuan yang cukup, sama saja bunuh diri. Memang kita lebih senang mengutuk para pelaku penyebaran konten privat ke tempat publik atau konten porno ke tempat privat. Dan konyolnya, bukan bualan jika akhirnya teknologi yang disalahkan.

Padahal teknologi adalah sekedar alat pemutar suatu budaya, budaya mobilitas. Dan memang akhirnya yang namanya mobilitas bukan lagi sekedar pada pelakunya, tetapi juga pada kontennya. Ketika Anda memilih hidup pada budaya mobilitas ini, maka batasan antara privasi ataupun ruang privat menjadi kabur. Privasi adalah hal yang kian hari kian diperjuangkan oleh banyak orang, tetapi di saat yang bersamaan keberadaan teknologi seolah berada pada garis yang berseberangan.

Untuk itu, tak ada salahnya jika kita pahami bahwa dalam budaya mobilitas, yang bergerak (mobile) selain pelaku dan kontennya, juga tingkat permisifitas kita. Kita semakin "dipaksa" untuk memaklumi bahwa privasi haruslah digadaikan dalam budaya mobilitas. Dan ini berarti termasuk privasi anak-anak dan para remaja kita! Mudah-mudahan deskripsi pada paragraf terakhir ini tidak pernah terjadi!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home