Dekonstruksi Teknologi Informasi

Saturday, May 24, 2008

www.donnybu.com

I moved to www.donnybu.com

-dbu-

Tuesday, May 08, 2007

Weekly Review: Berbisnis Lisensi, Bermodal PC Kadaluwarsa

Senin , 18/12/2006 08:20 WIB
Weekly Review
Berbisnis Lisensi, Bermodal PC Kadaluwarsa
Penulis: Donny B.U. - detikInet


Weekly Review
, (Tulisan ke-1 dari 2).

266.220 paket lisensi Microsoft, yaitu untuk sistem operasi (o/s) MS-Windows dan aplikasi MS-Office, akan dihibahkan oleh Microsoft kepada pemerintah Indonesia untuk keperluan administrasi kepemerintahan tentunya. Demikian salah satu isi nota kesepahaman (Memorandum of Understanding - MoU) yang ditanda-tangani di atas meterai Rp 6000 oleh pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Sofyan Djalil dan Presiden Microsoft Asia Tenggara Chris Atkinson.

MoU bertanggal 14 November 2006 tersebut, seperti yang ditunjukkan kopinya oleh seorang sumber kepada detikINET, berkop surat logo Microsoft pada bagian atas sebelah kiri dan logo Garuda Pancasila pada bagian kanannya. Dokumen berbahasa Inggris tersebut berjumlah 10 lembar, terdiri atas 5 lembar utama berisi klausul-klausul kesepahaman, dan 5 lembar penyerta (appendix).

Sebagai kata pembuka, dalam MoU tersebut dengan jelas menyebutkan asal-muasal keberadaannya, yaitu "sebagai tindak lanjut pertemuan antara Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dan Chairman Microsoft Corporation Bill Gates di Redmond, 27 Mei 2005". Bahkan, seperti pernah ditulis oleh beberapa media, dalam kesempatan lawatan ke kantor pusat Microsoft tersebut, Presiden SBY secara khusus meminta Bill Gates untuk menjadi penasehatnya di bidang teknologi informasi.

Tapi jelas, tak ada makan siang yang gratis. Paket hibah Microsoft tersebut baru bisa ditebus asalkan pemerintah Indonesia mau mengeluarkan uang untuk membeli 35.496 lisensi Microsoft Windows dan 177.480 lisensi Microsoft Office. Hitung-hitungan nominal rupiah antara paket hibah dari Microsoft versus paket pembelian oleh pemerintah Indonesia tersebut, pernah ditulis oleh Kompas pada 11 Desember 2006 lalu.

Hal lain yang menarik dari MoU tersebut adalah terikatnya paket hibah lisensi tersebut hanya pada komputer personal (PC) dengan jenis prosesor (CPU) maksimal Pentium III. Artinya, jika komputer yang digunakan oleh institusi pemerintah adalah lebih tinggi daripada Pentium III atau yang setara, maka paket lisensi tersebut tak berlaku.

Demikian pula jika komputer Pentium III tersebut tak lagi digunakan atau dialihkan kepemilikannya kepada selain institusi non-pemerintah, maka lisensi hibah tersebut pun dianggap hangus.


PC Kadaluwarsa

Berdasarkan berbagai literatur penelitian yang terhampar di Internet, usia pakai (life cycle) sebuah komputer personal (PC) adalah sekitar 4 (empat) hingga 5 (lima) tahun. Sedangkan sistem operasi pada PC secara umum akan memiliki versi terbarunya setiap 3 (tiga) tahun. CPU, bahkan usianya di pasaran, hanya pada kisaran 2 (dua) tahun saja, sebelum tergantikan dengan model terbaru dengan kecepatan yang lebih tinggi.

Artinya, jika kita mau mengacu pada data di atas, maka tawaran hibah lisensi Microsoft Windows yang ditawarkan adalah hanya untuk komputer kadaluarsa saja, yang mungkin dalam beberapa tahun ke depan sudah perlu diremajakan.

Hitung-hitungan sederhananya, jika sebuah institusi pemerintah berniat melakukan pengadaan sejumlah PC, tentu jenis prosesor yang dianggarkan adalah yang tergolong baru, kelas Pentium IV misalnya. Aneh rasanya jika saat ini ada pengadaan PC, tetapi masih menyantumkan Pentium III sebagai syaratnya.

Apalagi Intel telah menghentikan promosi Pentium III versi terakhirnya yang berkode Tualatin pada 2001, ketika pada November 2000 untuk pertama kalinya dipasarkan Pentium IV yang berkode Willamette. Padahal, jajaran Pentium IV kini juga telah memasuki "masa persiapan pensiun" (MPP) pada Juli 2006, dengan diluncurkannya prosesor tipe Intel Core 2.

Kemudian, anggaplah komputer Pentium III yang ada saat ini adalah hasil proyek pengadaan pada saat MPP-nya, yaitu pada 2001. Jika usia pakai PC hanyalah 4 (empat) tahun seperti telah disebutkan di atas, maka pada 2006 ini, jika pun masih ada komputer di pemerintahan yang berhak mendapatkan hibah lisensi sistem operasi tersebut, maka hampir dapat dipastikan komputer tersebut adalah yang sudah kadaluwarsa.

Sehingga jika kita acu kembali paparan di atas, ratusan ribu lisensi hibah tersebut sebenarnya dari hitung-hitungan bisnis, cenderung tak ada nilainya bagi penerimanya, dalam hal ini pemerintah Indonesia. PC yang dibeli pada 2001 silam tersebut, pada 2006 ini jelas telah melewati usia pakainya. Tetapi, bukankah tak jadi soal jika PC tersebut memang masih bisa dipakai hingga saat ini?

Memang, tak ada yang melarang PC kadaluarsa tersebut untuk terus dipakai. Apalagi, atas nama penghematan atau apapun, bisa saja sebuah institusi pemerintah tak ada niatan untuk meremajakan PC lawasnya. Walaupun tentu saja tetap janggal rasanya, apabila bagi sebuah institusi yang mengandalkan aktifitas kesehariannya dengan PC, tak menganggarkan untuk pengadaan PC baru.

Tetapi yang kemudian harus menjadi catatan adalah sebuah hasil penelitian Gartner terkait tentang usia pakai PC dan kaitannya dengan biayanya. Secara tegas dipaparkan bahwa memperpanjang usia pakai PC, ternyata tak memiliki dampak yang signifikan pada penghematan keuangan jika dihitung berdasarkan Biaya Total Kepemilikan (TCO).

Menurut Gartner, biaya yang harus ditanggung untuk merawat PC kadaluarsa akan beralih dari biaya langsung seperti hardware dan software ke biaya tak langsung semisal kehilangan produktifitas pengguna akhir. Beberapa masalah lain semisal downtime, sehingga PC tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diremajakan atau terpaksa segera "tutup usia" karena sering "sakit-sakitan" lantaran keterbatasan onderdil di pasaran.

Jadi, meskipun cukup lazim menggunakan PC melewati batas usia pakainya, Gartner menegaskan "someone has to pay". Total biaya langsung yang dihemat oleh sebuah institusi yang menggunakan PC kadaluwarsa, menurut Gartner, sebenarnya ditebus dari biaya tak langsung yang menjadi beban pengguna akhir PC tersebut.


Bisnis Biasa

Jadi rasanya dapat dipahami mengapa banyak pihak yang berpendapat bahwa hibah lisensi dalam MoU antara pemerintah Indonesia dengan Microsoft Corp. adalah sekedar marketing gimmick. Ini adalah deal bisnis biasa, antara pedagang dan pembeli. Tak ada yang istimewa, selain tentu saja proses kelahiran dan keberadaan MoU itu sendiri.

Dalam MoU tersebut juga ditekankan apabila pemerintah Indonesia melakukan peremajaan (upgrade) atau mengganti (replace) komputer ber-Pentium III yang sebelumnya telah tercatat mendapatkan hibah lisensi, maka "pemerintah sepakat untuk membeli sistem operasi preloaded yang legal", tanpa disebutkan nama sistem operasinya.

Jadi dengan demikian, apakah dengan demikian boleh memilih sistem operasi alternatif? Tunggu dulu, sebab harus diperhatikan syarat berikutnya. Yaitu "pemerintah sepakat untuk memposisikan PC (yang di-upgrade atau di-replace) tersebut dalam (sebuah perjanjian yaitu) Microsoft Enterprise Agreement". Jadi, apakah ada alternatif lain? Coba Anda temukan sendiri jawabannya.

Microsoft Enterprise Agreement (MEA) itu sendiri adalah sebuah program jual-beli produk Microsoft yang berbasikan pada kuantitas, atau disebut dengan Volume Licensing. Program Volume Licensing ini sendiri memiliki target khusus yaitu organisasi pemerintah. Intinya, akan ada diskon jika pemerintah Indonesia membeli produk Microsoft dalam kerangka MEA ini. Semakin banyak membeli, semakin besar diskonnya. Sebuah kesepakatan bisnis biasa, bukan?

Sunday, October 16, 2005

Weekly Review: Kita Berpotensi Menjadi 'Enemy of The State'...

Senin , 17/10/2005 07:45 WIB
Weekly Review
Kita Berpotensi Menjadi 'Enemy of The State'...
Penulis: Donny B.U. - detikInet


(Weekly Review). Pengelolaan data yang serampangan, dapat berakibat seseorang berpotensi menjadi 'enemy of the state'. Sebelum bicara Single Identity Number, masyarakat harus kritis terhadap kredibilitas pengelola dan pengelolaan database-nya. Penulis ingin mengajak para pemilik data untuk dapat kritis. Paranoia? It is not paranoia, if they're really after you.


Data

Dalam beberapa minggu belakangan ini kita disuguhi dengan serangkaian pemberitaan tentang salah sasarannya penyaluran dana kompensasi BBM untuk rakyat miskin. Banyak keluarga yang tergolong mampu, bisa turut mendapatkan dana Rp 100 ribu per bulan. Tetapi di sisi lain, keluarga yang jelas-jelas standar kehidupannya tak beranjak jauh dari kitaran garis kemiskinan, tak terjamah oleh pendataan yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).



Baca selanjutnya...

Sunday, October 09, 2005

Weekly Review: Konsep Validasi 'Identitas' Taksi via SMS...

Senin , 10/10/2005 11:15 WIB
Weekly Review
Konsep Validasi 'Identitas' Taksi via SMS...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

(Weekly Review). Ketika masyarakat membutuhkan keamanan dan kenyamanan dalam melakukan mobilitas di kota besar, maka hanya segelintir jenis sarana transportasi yang dapat memenuhinya. Taksi salah satunya, meskipun tarifnya tergolong ?premium?, kerap menjadi pilihan yang dapat memenuhi harapan di atas.

Masalahnya, seperti yang menjadi inspirasi atas tulisan kali, kasus perampokan yang menimpa penumpang taksi makin marak. Setidaknya demikian seperti disampaikan oleh media massa. Untuk itu, tulisan kali ini ingin mencoba memberikan solusi sederhana, tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan tentunya, tentang fungsi Short Message Service (SMS) dan kaitannya dengan keamanan penumpang taksi. Pun melalui tulisan ini, Penulis ingin mengajak pembaca melihat manfaat SMS, selain untuk sekedar menjawab kuis ataupun memilih idola di layar kaca.


Reservasi

Salah satu operator taksi yang telah menerapkan sistem reservasi armadanya dengan menggunakan SMS adalah Blue Bird Group. Melalui SMS, calon penumpang akan bisa memesan jenis taksi yang diinginkan, waktu penjemputan dan lokasinya. Informasi tentang layanan reservasi via SMS ini dapat dibaca di www.bluebirdgroup.com.

Tentu saja fitur ini akan menguntungkan pihak konsumen, karena tiap reservasi yang masuk akan diproses secara otomatis oleh komputer dan diteruskan ke armada taksi dalam radius tiga - enam kilometer dari lokasi yang diminta.

Hal tersebut dimungkinkan karena Blue Bird Group sebelumnya telah mengembangkan sistem reservasi menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS) dan Mobile Data Termina (MDT) yang terpasang pada taksi dengan nama lambung Silver Bird dan Pusaka Group. Dengan melakukan reservasi tersebut, maka calon penumpang akan bisa mendapatkan konfirmasi dalam waktu yang tidak lama, juga melalui SMS, tentang ketersediaan taksi yang dipesannya.

Pun ini akan meningkatkan keamanan penumpang, karena data diri penumpang, seperti nama, alamat dan nomor telepon, serta data (pengemudi) taksi yang akan melayaninya tersimpan di database operator taksi yang bersangkutan. Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka proses penelusurannya akan lebih mudah.


Validasi

Jika dikaitkan dengan keamanan penumpang taksi, maka sebenarnya setiap operator taksi bisa menggunakan fasilitas SMS untuk membantu penumpang dalam melakukan proses validasi taksi dan pengemudi yang melayaninya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, operator taksi tak mesti harus memiliki sistim GPS dan MDT seperti pada Blue Bird Group.

Untuk persiapan infrastruktur awalnya, operator taksi hanya membutuhkan perangkat komputer sebagai server, seperangkat ponsel yang dilengkapi kabel data agar dapat terkoneksi ke komputer, kartu GSM dari operator selular manapun, serta software SMS gateway. Untuk software SMS gateway, di Internet tersedia yang versi open source. Salah satunya adalah PlaySMS yang dikembangkan oleh seorang programmer Indonesia, yang informasi teknis detilnya dapat dibaca di http://playsms.sourceforge.net.

Setelah infrastruktur di atas rampung dibangun, Selain itu tentunya operator taksi tersebut harus memiliki database tentang armadanya, semisal data nomor lambung dan nomor plat mobil, nama dan nomor identitas pengemudi, serta kalau perlu ciri-ciri fisik pengemudi.

Kemudian konsepnya sederhana, yaitu penumpang taksi harus bisa mendapatkan konfirmasi dan informasi atas taksi yang ditumpanginya. Pada bagian dalam taksi yang mudah dilihat oleh penumpang, ditempelkan nomor SMS operator taksi tersebut, berikut dengan informasi langkah-langkah menggunakan layanan SMS tersebut.

Sehingga ketika penumpang masuk ke dalam taksi, maka dia bisa segera mengirimkan SMS ke nomor yang tertera, dengan menggunakan format tag tertentu. Contoh formatnya: 'CHECK [nomor lambung]'.

Semisal nomor lambung taksinya adalah '0611', maka penumpang bisa langsung mengirimkan SMS ke nomor milik operator taksi tersebut, dengan isi pesan: 'CHECK 0611'.

Kemudian secara otomatis, komputer pada operator taksi tersebut akan mengirimkan SMS balik ke penumpang. Contoh format pesan balik SMS tersebut: 'RECHECK [nomor lambung] [plat nomor] [ID pengemudi] [nama pengemudi] [ciri fisik pengemudi]'.

Sehingga isi pesan balik tersebut bisa saja seperti berikut ini: 'RECHECK 0611 B8817EJ D2778 DONNYBU SAWOMTG IKAL 75KG MUKABLT' (baca: 'taksi dengan kode lambung 0611 bernomor plat B 8817 EJ, nomor identitas pengemudi adalah D2778, pengemudi bernama Donny B.U., dengan ciri fisik berkulit sawo matang, berambut ikal, berat 75 kilogram dan bermuka bulat').

Tentu saja format yang dikirimkan oleh penumpang taksi bisa banyak variasi. Misalnya dengan menyertakan pula lokasi saat taksi menjemput penumpang dan lokasi tujuan yang diminta. Begitu pula format pesan yang diterima oleh penumpang, bisa dikombinasikan dengan data lainnya, sepanjang tetap menjaga keringkasan tak lebih dari 160 karakter saja.

Pun proses interaksi antara komputer operator taksi dengan penumpang dapat ditingkatkan. Misalnya pada SMS pesan balik yang diterima oleh penumpang, ada pertanyaan semisal 'Anda yakin cocok antara data dengan fakta? Reply 'Y' jika yakin atau 'T' jika tidak'.

Sehingga kalau penumpang ternyata mencurigai adanya ketidak-cocokan antara data yang diberikan oleh operator taksi dengan fakta dihadapannya, maka secara cepat operator taksi akan bisa mendapatkan umpan-balik dari penumpang dan dapat segera mengambil tindakan antisipatif.

Sistim validasi via SMS ini diharapkan akan dapat meminimalisir adanya pengemudi yang nakal, dengan menyerahkan taksinya untuk dibawa oleh 'supir tembak' atau pihak lain yang mempunyai itikad tidak baik. Sebab validasi ini tentunya akan mengecek database keluar-masuk kendaraan, berikut dengan pengemudi yang ditugaskan.


Loyalitas

Memang sebenarnya konsep validasi via SMS ini masih terlalu dini jika dianggap akan dapat mereduksi tingkat kriminalitas perampokan yang menimpa penumpang taksi. Tetapi setidaknya, dengan adanya alat bantu tambahan untuk melakukan validasi taksi dan pengemudinya, tentunya selain dengan ID card pengemudi yang biasanya terpasang di dashboard, maka keamanan penumpang akan bisa lebih ditingkatkan.

Layanan validasi via SMS ini juga akan memberikan rasa aman kepada penumpang, dan tentu saja dampaknya akan terkait dengan loyalitas konsumen. Dengan modal hanya sekitar Rp 250 per sekali kirim SMS oleh operator taksi, maka keuntungan yang diperoleh dari loyalitas konsumen nilainya tentu akan jauh lebih tinggi.

Pengembangan kedepannya, validasi menggunakan ponsel ini akan terasa lebih mantap lagi jika menggunakan fitur Multimedia Messaging System (MMS). Karena 'data' yang terkirim bisa berupa gambar, semisal foto diri dari pengemudi taksi yang bersangkutan.

Apalagi nanti jika infrastruktur telekomunikasi selular generasi ke-3 (3G) sudah beroperasi secara luas di Indonesia. Fitur reservasi maupun validasinya akan semakin ciamik, dengan konten dan interface yang fully multimedia dan interaktif.

Meskipun demikian, tetap kewaspadaan dari calon penumpang, kritis bertanya serta cepat dan berani mengambil tindakan yang diperlukan adalah faktor utama ketika memilih dan bepergian dengan segala jenis angkutan umum, termasuk taksi. SMS, MMS ataupun segala jenis teknologi lainnya, sebagaimana khitahnya, hanyalah sebagai alat bantu manusia dalam peradaban kini.



Sunday, October 02, 2005

Weekly Review: Antara Kualitas Informasi dan Harga Minyak Tanah...

Senin , 03/10/2005 11:15 WIB
Weekly Review
Antara Kualitas Informasi dan Harga Minyak Tanah...
Penulis: Donny B.U. - detikInet


(Weekly Review). Maka makin menjadi sekedar angan-angan sajalah ketika Indonesia berniat meningkatkan jumlah pengguna Internetnya. Kenaikan harga BBM yang rata-rata lebih dari 100% tersebut akan memukul langsung pengguna maupun pengusaha Internet. Internet memang masih baru bisa dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan di atas rata-rata.

Ini lantaran biaya yang harus dikeluarkan untuk sejam browsing di warnet setara dengan harga minyak tanah seliter. Jadi jangan pernah berharap masyarakat yang berada pada lapis 'piramida kelas sosial' tengah ataupun bawah, akan bersedia menggelontorkan uangnya ke kas warnet.

Kenaikan harga BBM yang menjulang akan membuat orang berpikir berulang-kali ketika akan membelanjakan uangnya untuk keperluan non-primer. Bagi mereka dari lapis sosial terbawah, yang paling penting saat ini tentulah kecukupan sandang, pangan dan papan. Untuk hiburan, informasi dan transportasi, mereka dari kelas menengahlah yang baru mampu memenuhi kebutuhannya.


Boro-boro

Bagaimana dengan kebutuhan akses Internet? Berharap dari kelas sosial terbawah, bak menegakkan benang basah. Pun berharap kebutuhan akses Internet dapat ditumbuhkan dari masyarakat kelas menengah, walaupun bukannya tidak mungkin, tetapi akan sulit rasanya dengan kondisi saat ini.

Boro-boro mau membayar akses Internet atau warnet, dapur bisa ngebul (dengan harga minyak tanah yang mencapai Rp 3000-an per liter di pasaran) atau punya kelebihan ongkos angkot (yang tarifnya sudah naik lebih dari 50%) saja sudah untung. Akhirnya, lagi-lagi, Internet hanya dapat dinikmati secara lebih leluasa oleh mereka dari kelas sosial yang berkecukupan.

Masalahnya, masyarakat dengan kelas sosial tersebut, sesuai dengan posisinya pada pucuk piramida, jumlahnya sangatlah sedikit. Kok sulit rasanya kita meningkatkan jumlah pengguna Internet Indonesia secara signifikan, jika mayoritas masyarakat kita yang berada pada kelas sosial menengah dan bawah, tak dapat dilibatkan.


Warnet

Warnet, sebagai salah satu industri kecil, pun tak ayal akan terpukul pula dengan kenaikan harga BBM. Yang paling terasa tentunya adalah biaya operasional, semisal gaji pegawai. Gaji bersih pegawai warnet berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 750 ribu per bulan, yang tentu untuk hitung-hitungan hari ini sudah tak memadai lagi. Pun kalau dipaksakan tetap bertahan pada rate tersebut, jangan harap warnet akan bisa mendapatkan pegawai dengan kualitas yang cukup baik.

Dan kualitas pegawai tersebut tentunya berbanding lurus dengan kualitas layanan yang diberikan. Warnet kini tak lebih dari sekedar bertahan hidup, tanpa mampu melakukan pengembangan ataupun diversifikasi usaha. Bahkan banyak pula warnet, yang masih mampu bertahan hingga saat ini, dipertahankan hanya demi sebuah idealisme pemiliknya, meskipun harus sampai memakan modal atau disusui oleh unit bisnis lainnya. Nasib warnet semakin diujung tanduk.


Pemerintah

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Riset dan Teknologi, adalah pihak yang paling getol berkampanye tentang pentingnya Indonesia memenuhi target-target World Sumit on the Information Society (WSIS). WSIS punya target, pada 2015 nanti separuh penduduk dunia harus memiliki akses ke informasi.

'Akses ke informasi' ini kerap diterjemahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai 'terhubung ke Internet'. Sehingga dalam beberapa kesempatan, pemerintah seolah 'mempercayakan' peningkatan penetrasi Internet di Indonesia kepada swadaya masyarakat.

Walhasil, pemerintah, seperti kerap dikritik oleh beberapa praktisi telematika di Indonesia, seakan buta fakta dan realita. Bahkan pemerintah dianggap tidak punya program-program konkrit untuk meningkatkan pengguna Internet, selain hanya sebatas pada wacana dan konsep belaka.

Kini saatnya pemerintah tak lagi bicara yang manis-manis kepada dunia internasional tentang kondisi di Indonesia, meskipun faktanya terasa pahit dirasakan oleh masyarakat. Melakukan negosiasi dan lobi pada ajang WSIS memang perlu, tetapi menghasilkan program kerja yang nyata dan dapat dirasakan masyarakat, pengguna dan pengusaha Internet tentunya tak kalah pentingnya.


Kualitas

Kini dengan kenaikan harga BBM dengan efek dominonya, maka justru kita harus was-was dengan menurunnya kualitas penggunaan Internet di Indonesia. Mungkin secara kuantitas, artinya secara jumlah penggunanya, tetap bisa dipertahankan ataupun ditingkatkan setapak demi setapak. Tetapi kualitas informasi yang diperoleh, bisa jadi menjadi turun.

Sebab salah satu faktor yang memiliki kaitan erat dengan kualitas informasi tersebut adalah pada intensitas dan durasi penggunaan Internet. Masalahnya, intensitas dan durasi tersebut terkait dengan biaya. Biaya ber-Internet akan terpangkas sedemikian rupa, karena dialihkan untuk kebutuhan lain. Dan sekali lagi, Internet belumlah sebagai kebutuhan primer atau sekunder oleh mayoritas masyarakat kita.