Dekonstruksi Teknologi Informasi

Sunday, July 03, 2005

Weekly Review: Penegakan HaKI Kehilangan Taji?

Minggu , 03/07/2005 14:10 WIB
Weekly Review: Penegakan HaKI Kehilangan Taji?
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Beberapa hari silam saya sempat berdiskusi oleh salah seorang sahabat saya, tentang dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di Indonesia. Bicara kesana-kemari, salah satu topik diskusi yang menjadi penajaman adalah pada pembajakan software di Indonesia. Kemudian rekan saya tersebut bertanya, sistem operasi dan aplikasi apa yang biasa saya pakai.

Setelah saya menyebutkan satu nama produk tertentu, dia pun bertanya kembali, "mengapa menggunakan (produk) itu? Apakah lebih nyaman? Bagaimana keamanannya jika dibandingkan produk lain?" dan serentetan pertanyaan lainnya. Kebetulan, sahabat saya tersebut adalah pengguna produk yang konon menjadi "seteru" produk yang saya pakai.

Saya tidak menjawab satu-per-satu pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selain hanya akan berbuntut pada perang 'idiologis' yang tak berujung-pangkal, debat kusir adalah hal yang sebisa mungkin saya hindari.

Saya hanya menjawab, "Saya menggunakan produk tersebut karena itulah pilihan saya. Yang paling utama ketika saya menentukan pilihan adalah bukan karena baik-buruknya suatu produk menurut orang lain, tetapi karena saya yakin semua orang memiliki hak untuk menentukan pilihannya dengan alasan masing-masing, sebagaimana tak ada yang berhak memaksakan pilihannya kepada orang lain,"

Saya mungkin bukan penganut aliran garis keras. Saya tidak pro-A ataupun pro-B. Saya pro-choice!

Lalu mungkin lantaran tidak puas, sahabat saya tersebut mengajakan satu pertanyaan lagi, "kalau begitu, bagaimana dengan polisi, pemerintah dan BSA yang seperti pilih-pilih ketika melakukan aksi sweeping?. "Apakah itu juga karena mereka pro-choice?" tanyanya seakan meledek saya.

Telur vs Ayam

Sejujurnya saya tidak punya jawaban yang pasti atas pertanyaan terakhir tersebut. Karena saya memang tidak tahu, "ada apa dengan sweeping" yang akhir-akhir makin marak terjadi di Indonesia.

Pertama, saya tidak terlalu yakin apakah yang kerap melakukan sweeping di warnet-warnet itu adalah resmi dari kepolisian ataukah oknum. Kedua, saya juga tak jelas, apakah pemerintah sendiri punya itikad yang tegas untuk mengatasi pembajakan ataukah sekedar menjadikan UU No. 12 / 2002 tentang Hak Cipta sebagai basa-basi politik dan bisnis luar negeri. Ketiga, apakah memang Business Software Alliance (BSA) yang didanai oleh sejumlah vendor software / hardware besar tersebut memiliki kebijakan untuk pilah-pilih target sweeping.

Ketika banyak warnet di daerah yang di-sweeping, saya menjadi bertanya-tanya, ketika salah satu targetnya yang akan dikenakan tuntutan hukum adalah warnet yang sejatinya telah menggunakan sistem operasi legal. Bahkan ada indikasi bahwa dibalik aksi sweeping tersebut, urusannya sudah soal duit dan palak-memalak. BSA memang secara tegas menyatakan bahwa warnet bukanlah primary target mereka, tetapi banyak yang yakin bahwa ilmu para aparat penegak hukum dalam mengendus potensi pelanggaran hukum terkait dengan penggunakan software bajakan, adalah didikan BSA juga.

Dan ilmu inilah yang ketika diimplementasikan di lapangan oleh para oknum, cukup berkhasiat untuk menyedot upeti dari warnet. Industri warnet memang seakan terus saja distempel negatif oleh banyak pihak, dari sekedar penyolong bandwidth, Internet Service Provider (ISP) gelap, sarang pornografi dan cybercrime, hingga kini sebagai pelanggar hak cipta.

Lalu ketika pemerintah gembar-gembor dalam rencana aksinya menegakkan UU No. 12 / 2002, ketika berbicara tentang industri software, yang dilapangan justru terasa sebaliknya. Toko-toko penjual CD software bajakan masih banyak ditemui di berbagai pusat pertokoan di Jakarta, dan tetap laris-manis dikunjungi. Mereka bahkan seperti tak terjamah oleh hukum. Demand memang sangat tinggi, karena beberapa alasan yang kerap diteriakkan, yaitu mahalnya software legal. Sehingga supply pun mengikuti, seperti sudah dipakemkan oleh hukum ekonomi.

Kalau bolak-balik permasalahan hanya di supply dan demand, maleslah awak berdebat! Kita terbiasa (terus) membajak karena mudahnya memperoleh software bajakan, dan software bajakan akan terus ada karena kita (terbiasa) membeli bajakan. Mungkin kita seharusnya bisa menjawab dulu, duluan mana antara ayam dengan telur!

Kehilangan Taji

Pun ketika BSA menyatakan bahwa pemerintah adalah mitra mereka, padahal dikabarkan lebih dari 90 persen software yang dipakai oleh pemerintah adalah bajakan, target sweeping hanyalah tetap pada institusi bisnis. BSA seperti ayam jago kehilangan tajinya, ketika bicara soal penegakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di pemerintahan. BSA kok memble, demikian tanya orang. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa strategi "pilih kasih", "double-standard" ataupun "mencla-mencle" tengah dimainkan oleh BSA.

Anggapan tersebut memang bukan tidak mungkin, karena nyaris semua pengguna komputer di Indonesia tahu, beberapa pusat pertokoan di Jakarta menjadi ajang distribusi dan jual-beli software bajakan. Slogan "anti pembajakan" pun seakan sekedar menjadi olok-olok, ketika poster-poster yang bertuliskan slogan tersebut terpasang di pintu masuk toko-toko software bajakan yang ramai pengunjungnya. Saya tidak terlalu yakin, BSA tidak tahu akan hal ini. Yang saya tahu, BSA tidak melakukan sweeping kepada pemerintah karena dianggapnya sebagai mitra.

Tutup Mata?

Nah kalau BSA ternyata juga tidak menjadikan para produsen dan distributor software bajakan sebagai target sweeping mereka, apa alasannya? Mungkinkah BSA tutup mata-mulut-telinga? Kalau pakem yang digunakan BSA ketika memilih target sweeping adalah pada penggunaan software bajakan untuk keperluan bisnis, sebagaimana (oknum) penegak hukum yang mentargetkan warnet karena juga sebagai institusi bisnis, bagaimana dengan para produsen dan distributor software bajakan yang jelas-jelas berbisnis (sekali lagi, berbisnis!) jual-beli software bajakan?

Mereka (para produsen dan distributor software bajakan) adalah pembajak yang sesungguhnya. Bukan berarti mereka lebih "berdosa" ketimbang institusi ataupun individu yang menggunakan produk bajakan. Sebab saya percaya, kesalahan suatu pihak tidak akan meringankan, ataupun menghapuskan, kesalahan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Jangan sampai alasan tidak di-sweeping-nya para produsen dan distributor software bajakan adalah lantaran BSA, polisi dan pemerintah bermitra (ataupun "bermitra") dengan mereka. Kok rasanya akan konyol sekali! Mudah-mudahan saja tidak demikian.

Yang kini bisa kita harapkan dari penegakan HaKI, khususnya untuk software, adalah keseriusan para stake holder untuk mencari tahu akar permasalahan, merumuskan solusi dan menjalankan aksi penegakan hukum tanpa pandang bulu dan main mata. Prinsip skala prioritas first think first harus dimainkan.

Memang, kita tak pada tempatnya "menghalalkan" pembajakan di sekolah ataupun warnet, dengan alasan karena pemerintah dan penegak hukum masih menggunakan software bajakan. Tetapi yang terpenting, akan sulit rasanya membersihkan, apabila sapu yang digunakan tidaklah bersih. Dan itu tak ada kaitannya sama sekali dengan pro-choice yang saya pahami!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

2 Comments:

  • INI MBAHAS PEMBAJAKAN TOH? LAH DETIKINET.COM INI AJA MBAJAK NAMA DETIK.COM TO? JD YA ORA USAH KAKEAN EMBER BODONG! MIKIRO DEWE

    SAYA CUMA KESASAR OLEH SEARH ENGINE KOK, SORRY LHO

    By Anonymous Anonymous, At 9:07 PM  

  • Hati kecil dan mata saya sebenarnya menyadari bahwa saya ini masih layak dilabeli maling dalam hal penggunaan piranti lunak. Saya juga sadar kalau saya sendiri saja tidak mau menghargai orang lain, mosok saya harus menuntut orang lain untuk menghargai saya.
    Ujung-ujungnya yaa waktu. Waktu yang akan menjawab bahwa benarkah saya ini saat ini, nanti, dan besok pagi adalah maling? Atau Polisi?
    to be continued ....

    By Anonymous Anonymous, At 10:44 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home