Dekonstruksi Teknologi Informasi

Monday, July 04, 2005

Weekly Review: APJII dan cctld-ID, Dengarlah Pesan 'The Beatles'...

Minggu , 17/07/2005 22:05 WIB
Weekly Review: APJII dan cctld-ID, Dengarlah Pesan 'The Beatles'...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Kuta, (Weekly Review). Menarik jika kita melihat bagaimana para anggota komunitas Teknologi Informasi (TI) di Indonesia menjalankan prinsipnya. Sebutlah semisal ketika beberapa waktu silam, para anggota komunitas ramai-ramai mengajukan mosi tidak percaya terhadap (peraturan) pemerintah terkait dengan pengaturan (dan pengutipan) biaya hak pakai (BHP) atas frekwensi 2,4 GHz.

Ujung tombaknya saat itu adalah Asosiasi Wireless-LAN Indonesia (IndoWLI), yang sebagian pengurusnya adalah juga para pengelola Internet Service Provider (ISP) atau bahkan juga salah satu pengurus Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Bahkan beredar rumor, bahwa sepak-terjang IndoWLI adalah kepanjangan tangan dan tak lepas dari pengaruh APJII, sebagai sebuah asosiasi yang kelagapan harus mencari jalan keluar atas beberapa problem yang dialami anggotanya.

Salah satu problemnya saat itu, konon, adalah rendahnya penetrasi dan peningkatan pelanggan Internet di Indonesia, yang tentunya berbanding lurus dengan rendahnya pendapatan para ISP. Dan salah satu pihak yang dituding sebagai penyebabnya adalah Telkom, karena tak kunjung berhasil menaikkan tingkat penetrasi telepon rumahan secara signifikan. Frekuensi 2,4 GHz kemudian dipercaya sebagai obat mujarab atas problem tersebut, yang pengaturannya masih dipegang oleh Ditjen Postel di bawah Departemen Perhubungan kala itu.

Dan kita pun paham, bahwa akhirnya pengaturan 2,4 GHz akhirnya diserahkan kepada komunitas, karena IndoWLI ngotot bahwa komunitas akan dapat mengatur dirinya sendiri. Tak dapat dipungkiri, para ISP anggota APJII turut mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dengan dipercayakannya pengaturan 2,4 GHz kepada komunitas. Mereka pun kini berlomba-lomba menawarkan akses Internet nirkabel kepada pelanggan rumahan, warnet ataupun perkantoran. Duit pun kembali mengalir lebih deras.

Standar Ganda

Tetapi APJII tampaknya menerapkan standar ganda ketika menghadapi sengketa dengan pengelola Country-Code Top Level Domain .ID (cctld-ID). Alih-alih berupaya lebih keras agar masalah yang ada dapat diselesaikan dengan kekuatan komunitas itu sendiri, APJII malah seakan berlindung di balik ketiak "hasil munas".

APJII pun melakukan langkah fenomenal dengan mengumpulkan tanda-tangan dari nyaris seluruh pengurus APJII untuk melakukan proses hukum (litigasi) kepada pengelola cctld-ID atas dugaan penggelapan dana pengelolaan domain .ID. Mungkin secara formal APJII belum melapor kepada kepolisian, tetapi memang ada kabar bahwa secara informal APJII telah melakukan pertemuan "konsultatif" ke aparat penegak hukum yang berkompeten di Mabes Polri.

APJII, atau setidaknya beberapa pengurusnya, pun amin-amin saja ketika Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang kini membawahi Ditjen Postel, berniat turun tangan untuk menengahi sengketa pengelolaan domain .ID. Bertolak-belakang sikap yang muncul ketika melengserkan kepengurusan frekuensi 2,4 GHz dari tangan pemerintah.

Bersih KKN

Berniat membersihkan KKN, jika memang itu adalah tujuan utamanya, adalah satu hal. Tetapi grasa-grusu meminta dukungan pemerintah dan penegak hukum, adalah lain hal. Apalagi sebenarnya APJII juga punya andil dalam pengelolaan dana domain .ID. Selama bertahun-tahun pengelolaan dana domain .ID ditanggung-renteng oleh APJII dan cctld-ID, dengan bagi hasil 50-50, setelah pajak dibayarkan.

APJII bertugas pada urusan administratif seperti melakukan penagihan kepada para pengguna domain .ID, sedangkan cctld-ID lebih kepada urusan teknis. Yang mungkin kemudian menjadi salah satu yang dipermasalahkan adalah disetornya bagian untuk cctld-ID ke rekening pribadi pengelolanya. Memang cctld-ID saat itu belum memiliki badan hukum yang jelas. Adapun yang menjadi bagian APJII, masuk ke rekening milik asosiasi.

Yang jelas, baik APJII maupun cctld-ID saling mengklaim bahwa dirinya tak melakukan KKN dalam pengelolaan dana domain .ID, dengan pembukuan yang rapi dan sewaktu-waktu mempersilahkan untuk di audit.

Redelegasi Mandat

Terkait dengan mandat pengelolaan domain .ID, APJII bersikeras untuk memaksa Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), sebuah lembaga internasional yang mengurusi domain sedunia, menarik dan menunjuk kembali (redelegasi) mandat tersebut yang selama ini dijalankan oleh tim cctld-ID.

Padahal di sisi lain, cctld-ID telah menyiapkan suatu badan hukum baru untuk pengurusan domain .ID kedepan, yaitu Persekutuan Perdata Domain Indonesia (PPDI). Cctld-ID juga telah menunjuk 5 (lima) pihak melalui fit and proper test yang nantinya akan berhubungan langsung dengan pelanggan dalam urusan administrasi pendaftaran dan pembayaran (registrar), pasca bercerai dengan APJII.

Menurut kabar, APJII berharap ICANN akan menyerahkan mandat tersebut ke (cikal-bakal) Yayasan Indonesia Network Information Center (ID-NIC). Siapapun yang akan duduk di yayasan tersebut, menurut APJII, tak menjadi soal. Bahkan termasuk mantan pengelola cctld-ID nantinya, sangat mungkin duduk sebagai pengurus di yayasan tersebut. Karena yayasan tersebut direncanakan akan merupakan dari-oleh-untuk komunitas.

Yang jelas, dalam pergeseran peta "politik" TI di Indonesia, Yayasan ID-NIC rencananya akan berada di bawah Lembaga Internet Indonesia (LII). Adapun yang saat ini menjadi pengurus LII antara lain adalah Soekarno Abdulrahman, mantan Sekjen Masyarakat Telematika (Mastel) dan Andi Budimansyah, yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas APJII.

Di dalam LII tersebut akan bergabung pula antara lain APJII, Mastel, Internet Society (ISOC) Indonesia dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII). Yang jelas, beberapa anggota dewa pengurus ataupun dewan pengawas di APJII memang juga menduduki beberapa jabatan strategis di ISOC, FTII ataupun LII itu sendiri. Misalnya saja Teddy Purwadi, Sekjen APJII yang juga Sekjen FTII, sekaligus Ketua ISOC Indonesia. Adapun APJII sendiri, merupakan anggota dari FTII dan ISOC Indonesia, serta sebagai Asosiasi Pendukung pada Mastel.

Seru bukan?

Garis Keras

Kedua belah, APJII maupun cctld-ID, tentu pernah punya dasar yang kuat untuk saling berbagi tanggung-jawab dalam mengelola amanah yang diberikan oleh komunitas TI Indonesia ataupun global. Dan bukan tidak mungkin, salah satu dasar tersebut adalah kepercayaan dan amanah komunitas. Tetapi begitu dasar tersebut tak lagi kuat untuk ditapaki, maka bukan tidak mungkin keduanya saling mengorek-ngorek kesalahan pihak lain, atas nama amanah komunitas juga. Bagaimana mungkin, "amanah komunitas" seakan dipakai untuk melegalkan kerjasama APJII dan cctld-ID, dan sejurus kemudian dipakai kembali untuk hal yang bertolak belakang?

Banyak juga yang meyakini bahwa perseteruan antara APJII dan cctld-ID ini merupakan api dalam sekam selama bertahun-tahun yang kemudian sengaja diguyur bensin oleh pihak-pihak tertentu. Lalu pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Mudah saja, karena APJII terus mengalami suksesi kepengurusan dengan beragam tipikal kepengurusan. Setelah sebelumnya sempat berhaluan akomodatif, APJII yang kini diyakini sebagai APJII garis keras.

Emas dan Cinta

Sejarah pengelolaan nama domain memang cukup ruwet, dengan berbagai versi yang diklaim kebenarannya oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Sehingga ketika akhirnya APJII dan cctld-ID resmi bercerai beberapa bulan silam, maka terjadilah perebutan hak mengasuh "anak emas", domain .ID. Orang pun mulai mengira-ngira, bahwa semuanya adalah UUD, alias ujung-ujungnya duit. Tetapi bisa saja sebenarnya bukan itu, atau lebih daripada itu. Karena siapapun pengelola domain .ID akan lebih mudah untuk mempertahankan eksistensinya di mata komunitas TI global.

Mudah-mudahan perkembangan terkini APJII vs cctld-ID dapat mulai mengarah ke hal yang lebih baik. Di satu kesempatan yang terpisah, baik APJII dan cctld-ID telah menyatakan niatnya untuk mengendurkan perang urat syaraf di antara mereka.

Dengan demikian, penyelesaian terbaik atas sengketa di antara mereka, seharusnya akan menjadi hal yang terbaik pula bagi komunitas TI di Indonesia. Penyelesaian yang terbaik tentunya dilandasi atas dasar saling menghargai, serta yakinlah bahwa komunitas TI di Indonesia ataupun global telah memiliki mekanismenya sendiri dalam hal penyelesaian sengketa, tanpa harus buru-buru melibatkan pihak lain.

Pun jauh hari, 'The Beatles' telah berpesan, "and in the end, the love we take is equal to the love we make."


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home