Dekonstruksi Teknologi Informasi

Tuesday, May 08, 2007

Weekly Review: Berbisnis Lisensi, Bermodal PC Kadaluwarsa

Senin , 18/12/2006 08:20 WIB
Weekly Review
Berbisnis Lisensi, Bermodal PC Kadaluwarsa
Penulis: Donny B.U. - detikInet


Weekly Review
, (Tulisan ke-1 dari 2).

266.220 paket lisensi Microsoft, yaitu untuk sistem operasi (o/s) MS-Windows dan aplikasi MS-Office, akan dihibahkan oleh Microsoft kepada pemerintah Indonesia untuk keperluan administrasi kepemerintahan tentunya. Demikian salah satu isi nota kesepahaman (Memorandum of Understanding - MoU) yang ditanda-tangani di atas meterai Rp 6000 oleh pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Sofyan Djalil dan Presiden Microsoft Asia Tenggara Chris Atkinson.

MoU bertanggal 14 November 2006 tersebut, seperti yang ditunjukkan kopinya oleh seorang sumber kepada detikINET, berkop surat logo Microsoft pada bagian atas sebelah kiri dan logo Garuda Pancasila pada bagian kanannya. Dokumen berbahasa Inggris tersebut berjumlah 10 lembar, terdiri atas 5 lembar utama berisi klausul-klausul kesepahaman, dan 5 lembar penyerta (appendix).

Sebagai kata pembuka, dalam MoU tersebut dengan jelas menyebutkan asal-muasal keberadaannya, yaitu "sebagai tindak lanjut pertemuan antara Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dan Chairman Microsoft Corporation Bill Gates di Redmond, 27 Mei 2005". Bahkan, seperti pernah ditulis oleh beberapa media, dalam kesempatan lawatan ke kantor pusat Microsoft tersebut, Presiden SBY secara khusus meminta Bill Gates untuk menjadi penasehatnya di bidang teknologi informasi.

Tapi jelas, tak ada makan siang yang gratis. Paket hibah Microsoft tersebut baru bisa ditebus asalkan pemerintah Indonesia mau mengeluarkan uang untuk membeli 35.496 lisensi Microsoft Windows dan 177.480 lisensi Microsoft Office. Hitung-hitungan nominal rupiah antara paket hibah dari Microsoft versus paket pembelian oleh pemerintah Indonesia tersebut, pernah ditulis oleh Kompas pada 11 Desember 2006 lalu.

Hal lain yang menarik dari MoU tersebut adalah terikatnya paket hibah lisensi tersebut hanya pada komputer personal (PC) dengan jenis prosesor (CPU) maksimal Pentium III. Artinya, jika komputer yang digunakan oleh institusi pemerintah adalah lebih tinggi daripada Pentium III atau yang setara, maka paket lisensi tersebut tak berlaku.

Demikian pula jika komputer Pentium III tersebut tak lagi digunakan atau dialihkan kepemilikannya kepada selain institusi non-pemerintah, maka lisensi hibah tersebut pun dianggap hangus.


PC Kadaluwarsa

Berdasarkan berbagai literatur penelitian yang terhampar di Internet, usia pakai (life cycle) sebuah komputer personal (PC) adalah sekitar 4 (empat) hingga 5 (lima) tahun. Sedangkan sistem operasi pada PC secara umum akan memiliki versi terbarunya setiap 3 (tiga) tahun. CPU, bahkan usianya di pasaran, hanya pada kisaran 2 (dua) tahun saja, sebelum tergantikan dengan model terbaru dengan kecepatan yang lebih tinggi.

Artinya, jika kita mau mengacu pada data di atas, maka tawaran hibah lisensi Microsoft Windows yang ditawarkan adalah hanya untuk komputer kadaluarsa saja, yang mungkin dalam beberapa tahun ke depan sudah perlu diremajakan.

Hitung-hitungan sederhananya, jika sebuah institusi pemerintah berniat melakukan pengadaan sejumlah PC, tentu jenis prosesor yang dianggarkan adalah yang tergolong baru, kelas Pentium IV misalnya. Aneh rasanya jika saat ini ada pengadaan PC, tetapi masih menyantumkan Pentium III sebagai syaratnya.

Apalagi Intel telah menghentikan promosi Pentium III versi terakhirnya yang berkode Tualatin pada 2001, ketika pada November 2000 untuk pertama kalinya dipasarkan Pentium IV yang berkode Willamette. Padahal, jajaran Pentium IV kini juga telah memasuki "masa persiapan pensiun" (MPP) pada Juli 2006, dengan diluncurkannya prosesor tipe Intel Core 2.

Kemudian, anggaplah komputer Pentium III yang ada saat ini adalah hasil proyek pengadaan pada saat MPP-nya, yaitu pada 2001. Jika usia pakai PC hanyalah 4 (empat) tahun seperti telah disebutkan di atas, maka pada 2006 ini, jika pun masih ada komputer di pemerintahan yang berhak mendapatkan hibah lisensi sistem operasi tersebut, maka hampir dapat dipastikan komputer tersebut adalah yang sudah kadaluwarsa.

Sehingga jika kita acu kembali paparan di atas, ratusan ribu lisensi hibah tersebut sebenarnya dari hitung-hitungan bisnis, cenderung tak ada nilainya bagi penerimanya, dalam hal ini pemerintah Indonesia. PC yang dibeli pada 2001 silam tersebut, pada 2006 ini jelas telah melewati usia pakainya. Tetapi, bukankah tak jadi soal jika PC tersebut memang masih bisa dipakai hingga saat ini?

Memang, tak ada yang melarang PC kadaluarsa tersebut untuk terus dipakai. Apalagi, atas nama penghematan atau apapun, bisa saja sebuah institusi pemerintah tak ada niatan untuk meremajakan PC lawasnya. Walaupun tentu saja tetap janggal rasanya, apabila bagi sebuah institusi yang mengandalkan aktifitas kesehariannya dengan PC, tak menganggarkan untuk pengadaan PC baru.

Tetapi yang kemudian harus menjadi catatan adalah sebuah hasil penelitian Gartner terkait tentang usia pakai PC dan kaitannya dengan biayanya. Secara tegas dipaparkan bahwa memperpanjang usia pakai PC, ternyata tak memiliki dampak yang signifikan pada penghematan keuangan jika dihitung berdasarkan Biaya Total Kepemilikan (TCO).

Menurut Gartner, biaya yang harus ditanggung untuk merawat PC kadaluarsa akan beralih dari biaya langsung seperti hardware dan software ke biaya tak langsung semisal kehilangan produktifitas pengguna akhir. Beberapa masalah lain semisal downtime, sehingga PC tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diremajakan atau terpaksa segera "tutup usia" karena sering "sakit-sakitan" lantaran keterbatasan onderdil di pasaran.

Jadi, meskipun cukup lazim menggunakan PC melewati batas usia pakainya, Gartner menegaskan "someone has to pay". Total biaya langsung yang dihemat oleh sebuah institusi yang menggunakan PC kadaluwarsa, menurut Gartner, sebenarnya ditebus dari biaya tak langsung yang menjadi beban pengguna akhir PC tersebut.


Bisnis Biasa

Jadi rasanya dapat dipahami mengapa banyak pihak yang berpendapat bahwa hibah lisensi dalam MoU antara pemerintah Indonesia dengan Microsoft Corp. adalah sekedar marketing gimmick. Ini adalah deal bisnis biasa, antara pedagang dan pembeli. Tak ada yang istimewa, selain tentu saja proses kelahiran dan keberadaan MoU itu sendiri.

Dalam MoU tersebut juga ditekankan apabila pemerintah Indonesia melakukan peremajaan (upgrade) atau mengganti (replace) komputer ber-Pentium III yang sebelumnya telah tercatat mendapatkan hibah lisensi, maka "pemerintah sepakat untuk membeli sistem operasi preloaded yang legal", tanpa disebutkan nama sistem operasinya.

Jadi dengan demikian, apakah dengan demikian boleh memilih sistem operasi alternatif? Tunggu dulu, sebab harus diperhatikan syarat berikutnya. Yaitu "pemerintah sepakat untuk memposisikan PC (yang di-upgrade atau di-replace) tersebut dalam (sebuah perjanjian yaitu) Microsoft Enterprise Agreement". Jadi, apakah ada alternatif lain? Coba Anda temukan sendiri jawabannya.

Microsoft Enterprise Agreement (MEA) itu sendiri adalah sebuah program jual-beli produk Microsoft yang berbasikan pada kuantitas, atau disebut dengan Volume Licensing. Program Volume Licensing ini sendiri memiliki target khusus yaitu organisasi pemerintah. Intinya, akan ada diskon jika pemerintah Indonesia membeli produk Microsoft dalam kerangka MEA ini. Semakin banyak membeli, semakin besar diskonnya. Sebuah kesepakatan bisnis biasa, bukan?