Dekonstruksi Teknologi Informasi

Monday, July 04, 2005

Weekly Review: Biarkan Saya Bermimpi YoYo Kayu.....

Minggu , 24/07/2005 23:00 WIB
Weekly Review: Biarkan Saya Bermimpi YoYo Kayu.....
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Di tengah perjalanan menuju rumah di Depok sore tadi, saya mampir di sebuah mini market. Biasa, membeli beragam cemilan dan minuman kotak untuk menemani akhir pekan bersama keluarga. Ketika hendak membayar, mata saya terpaku pada jajaran barang di rak dekat meja kasir, sebuah mainan yang saya gandrungi jaman baheula. Kalau di jaman saya sekolah dasar, mainan tersebut terbuat dari kayu.

Kini mainan tersebut terbuat dari plastik berwarna-warni, dengan lampu yang bisa menyala didalamnya. Oh ya, mainan yang saya maksudkan tersebut adalah YoYo.

Kontan saya beli mainan YoYo seharga lima ribuan tersebut, sebanyak dua buah. Sesampai dirumah langsung saya mainkan, sembari mengingat-ingat beberapa trik dan teknik bermain, yang mungkin dahulu sempat saya kuasai. Lumayan, saya bisa bernostalgia dengan barang 'made-in china' tersebut.

Keringat

Sejurus kemudian, pikiran saya mengawang ke masa 20 tahunan silam, ketika yang namanya bermain lebih banyak menggerakkan otot ketimbang sekarang. Ketika berusia 10 tahunan, saya, dan mungkin juga Anda, berinteraksi dengan teman sebaya secara fisik-ke-fisik. Yang namanya bermain adalah dengan berlari dan melompat menggunakan otot kaki, melempar dan memukul dengan menggunakan otot tangan, mengatur strategi permainan dengan melihat, mendengar dan berteriak.

Ada beberapa permainan tradisional yang cukup membuat berkeringat, semisal galaksin atau gopak sodor, bentengan, gatrik dan lompat tali (karet). Tentu saja ada pula permainan yang cukup favorit bagi cowok, yaitu bola sepak ataupun tembak-tembakan.

Dan sekarang, mungkin tak banyak lagi anak-anak yang masih mengenal ataupun memainkan permainan yang menggunakan otot dan otak tersebut. Perkembangan teknologi (game) komputer telah megubah banyak hal, termasuk cara berpikir dan bermain. Kini beragam permainan tradisional di atas tak lagi membutuhkan otot, selain sekedar otot jari tangan.
Bahwa komputer membantu meningkatkan daya pikir, kreasi dan imajinasi seorang anak, mungkin bisa jadi. Bahwa komputer dapat menggantikan daya pikir, kreasi dan imajinasi yang semula diberikan oleh permainan tradisional, saya kok tidak yakin.

Cukup banyak game anak yang interaktif. Klik sana ketik sini, maka akan muncul hasilnya di layar monitor ataupun dicetak melalui printer. Tetapi menyentuh dan menekan tombol pada keyboard ataupun mouse tidaklah sama dengan menyentuh, menekan, memilin, memukul, mencabik ataupun memotong mainan lilin (tanah liat) misalnya.

Ketika anak-anak berimajinasi dan berkreasi dengan komputer, maka kita berinteraksi dengan layar monitor untuk menghasilkan sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tak terasa bendanya dengan panca indra selain mata. Kecuali jika di-print, dan itupun tak lebih dari perwakilan suatu benda dalam bentuk dua dimensi di atas kertas. Tetapi ketika mereka berkreasi dengan lilin, maka imajinasi mereka akan bisa 'terwujud' dan 'tersentuh' oleh lebih banyak panca indra.

Sutradara

Anda mungkin termasuk penggemar game komputer Red Alert, yang berupa game strategi perang. Dan permainan bentengan, sebenarnya sama saja. Anda harus menjaga markas Anda baik-baik, sekaligus memikirkan strategi menyerang markas lawan, sembari mencoba membebaskan para tahanan, dan menjaga diri Anda baik-baik agar tidak tertangkap oleh musuh. Bedanya, game bentengan membuat Anda lebih berkeringat karena harus berlari, mengejar, berteriak, dan sebagainya.

Dahulu kala, dan masih ada sampai sekarang di beberapa tempat, ada mainan berupa gambar laki dan perempuan yang dicetak di kertas karton tebal. Tokoh tersebut bisa diganti-ganti baju, topi, sepatu dan apapun yang menyertainya. Berbagai asesorinya pun tercetak di lembaran karton yang sama. Setelah itu, para tokoh tersebut pun dimainkan perannya, entah sebagai ayah, ibu, anak, tetangga dan sebagainya, termasuk profesi kesehariannya.

Dan kini, mungkin Anda lebih mengenal game komputer The Sims, dengan ide dan tema cerita yang tak jauh berbeda. Bedanya, di permainan ala kertas karton tersebut, seluruh jalan cerita merupakan kreasi dan imajinasi anak sebagai 'sutradara'-nya. Sedangkan di The Sims, otak komputer ikut campur dalam alur dan skenario permainan.

Oh ya, bagaimana dengan game Counter Strike? Mungkin anak jaman sekarang lebih suka bermain tembak-tembakan via jaringan bersama temannya di depan komputer, sambil duduk mengangkat sebelah kaki, menggunakan headphone, menyeruput minuman soda berkadar gula tinggi, dengan sesekali mulutnya menguyah jajanan gorengan yang basah berminyak.

Saya masih ingat dahulu bermain menggunakan pistol-pistolan berpeluru plastik, ketika mengintip dan memburu lawan ataupun berlari menghindari tembakan benar-benar menggerakkan otot tubuh. Tak sekedar menggeser mouse ataupun meng-klik tombol di keyboard.

Jika salah mengatur langkah, resikonya kulit perih terkena peluru lawan ataupun lutut dan tangan lecet karena terjatuh. Nikmat memang kalau dikenang, melakukan permainan dengan resiko yang tidak sekedar harus menekan menu atau tombol 'restart'.

Gravitasi

Salah satu game favorit saya adalah simulasi pesawat. Tetapi sungguh, bermain game simulasi tersebut tak sama dengan melakukan sungguhan. Beberapa tahun silam, saya kebetulan sempat mengambil kursus singkat terbang dengan pesawat Cesna. Walaupun secara teoritis apa yang ada di game simulasi sama dengan saat saya praktek di lapangan, tetapi ternyata banyak hal lain yang membedakan secara signifikan. Yang jelas di ketinggian yang sesungguhnya, hukum gravitasi benar-benar menjalankan perannya saat itu. Salah strategi, fatal akibatnya.

Tangan saya pun berkeringat karena gugup (Anda mungkin masih ingat ketika pertama kali belajar mengendarai mobil). Belum lagi rasa mual yang tiba-tiba mendera, ketika pesawat mendadak stall, alias kehilangan daya angkatnya karena posisi hidung yang sengaja terlalu ditukikkan ke atas oleh instruktur. Belum lagi harus menjalankan berbagai prosedur baku, tanpa ada opsi 'pause' dan tombol 'F1' untuk melihat manual-nya.

Dan untuk hal yang terakhir ini, konon teroris Al-Qaeda yang menabrakkan pesawat jumbo jet komersial ke menara WTC di AS beberapa tahun silam, mempelajari jalur dan skenarionya dari simulasi yang ada pada game Microsoft Flight Simulator. Tentunya si teroris tersebut terlebih dahulu telah mampu menerbangkan pesawat setelah mengikuti pelatihan penerbangan sungguhan.

Bermimpi

Sebenarnya yang ingin saya sampaikan pada tulisan kali ini adalah bahwa beberapa pengalaman Anda dan saya ternyata tidak akan bisa digantikan dengan peran teknologi apapun. Pengalaman bermain adalah satu hal, tetapi menggunakan komputer untuk bermain adalah lain hal.
Bermain plus komputer akan menghasilkan seseorang dengan pengalaman bermain 'dengan' komputernya. Sedangkan bermain plus alam lingkungan akan menghasilkan seseorang dengan pengalaman bermain 'di' alam lingkungannya.

Komputer dan alam tak saling menggantikan. Sebagaimana YoYo plastik berlampu fancy yang baru saya beli saat ini, takkan pernah menggantikan kenangan saya atas mainan YoYo kayu kegemaran saya dahulu kala. Pun kalau Anda baru saja kenal YoYo dan langsung yang versi 'made in china', maka pengalaman Anda dan saya tidak akan pernah dapat diperbandingkan.

Louis B. Gerstner, JR., sesepuh IBM, seperti dikutip oleh buku 'Failure to Connect (How Computers Affect Our Children's Minds - for Better and Worse)', mengatakan, "Computers are magnificent tools for the realization of our dreams, but they will never replace the dreamers. No machine can replace the human spark: spirit, compassion, love and understanding."

Dan memang tak salah apabila kita percaya bahwa komputer adalah alat bantu yang penting untuk mewujudkan segala mimpi kita. Tetapi kemampuan bermimpi itu sendiri adalah hal yang paling penting.

Jangan sampai kemampuan bermimpi kita ataupun anak-anak kita tergerus oleh iming-iming mimpi yang dibawa oleh teknologi (game) komputer, TV game (dingdong), PS2, XBOX ataupun sejenisnya.

Dan biarkan malam ini saya bermimpi memainkan YoYo kayu.....


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Weekly Review: APJII dan cctld-ID, Dengarlah Pesan 'The Beatles'...

Minggu , 17/07/2005 22:05 WIB
Weekly Review: APJII dan cctld-ID, Dengarlah Pesan 'The Beatles'...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Kuta, (Weekly Review). Menarik jika kita melihat bagaimana para anggota komunitas Teknologi Informasi (TI) di Indonesia menjalankan prinsipnya. Sebutlah semisal ketika beberapa waktu silam, para anggota komunitas ramai-ramai mengajukan mosi tidak percaya terhadap (peraturan) pemerintah terkait dengan pengaturan (dan pengutipan) biaya hak pakai (BHP) atas frekwensi 2,4 GHz.

Ujung tombaknya saat itu adalah Asosiasi Wireless-LAN Indonesia (IndoWLI), yang sebagian pengurusnya adalah juga para pengelola Internet Service Provider (ISP) atau bahkan juga salah satu pengurus Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Bahkan beredar rumor, bahwa sepak-terjang IndoWLI adalah kepanjangan tangan dan tak lepas dari pengaruh APJII, sebagai sebuah asosiasi yang kelagapan harus mencari jalan keluar atas beberapa problem yang dialami anggotanya.

Salah satu problemnya saat itu, konon, adalah rendahnya penetrasi dan peningkatan pelanggan Internet di Indonesia, yang tentunya berbanding lurus dengan rendahnya pendapatan para ISP. Dan salah satu pihak yang dituding sebagai penyebabnya adalah Telkom, karena tak kunjung berhasil menaikkan tingkat penetrasi telepon rumahan secara signifikan. Frekuensi 2,4 GHz kemudian dipercaya sebagai obat mujarab atas problem tersebut, yang pengaturannya masih dipegang oleh Ditjen Postel di bawah Departemen Perhubungan kala itu.

Dan kita pun paham, bahwa akhirnya pengaturan 2,4 GHz akhirnya diserahkan kepada komunitas, karena IndoWLI ngotot bahwa komunitas akan dapat mengatur dirinya sendiri. Tak dapat dipungkiri, para ISP anggota APJII turut mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dengan dipercayakannya pengaturan 2,4 GHz kepada komunitas. Mereka pun kini berlomba-lomba menawarkan akses Internet nirkabel kepada pelanggan rumahan, warnet ataupun perkantoran. Duit pun kembali mengalir lebih deras.

Standar Ganda

Tetapi APJII tampaknya menerapkan standar ganda ketika menghadapi sengketa dengan pengelola Country-Code Top Level Domain .ID (cctld-ID). Alih-alih berupaya lebih keras agar masalah yang ada dapat diselesaikan dengan kekuatan komunitas itu sendiri, APJII malah seakan berlindung di balik ketiak "hasil munas".

APJII pun melakukan langkah fenomenal dengan mengumpulkan tanda-tangan dari nyaris seluruh pengurus APJII untuk melakukan proses hukum (litigasi) kepada pengelola cctld-ID atas dugaan penggelapan dana pengelolaan domain .ID. Mungkin secara formal APJII belum melapor kepada kepolisian, tetapi memang ada kabar bahwa secara informal APJII telah melakukan pertemuan "konsultatif" ke aparat penegak hukum yang berkompeten di Mabes Polri.

APJII, atau setidaknya beberapa pengurusnya, pun amin-amin saja ketika Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang kini membawahi Ditjen Postel, berniat turun tangan untuk menengahi sengketa pengelolaan domain .ID. Bertolak-belakang sikap yang muncul ketika melengserkan kepengurusan frekuensi 2,4 GHz dari tangan pemerintah.

Bersih KKN

Berniat membersihkan KKN, jika memang itu adalah tujuan utamanya, adalah satu hal. Tetapi grasa-grusu meminta dukungan pemerintah dan penegak hukum, adalah lain hal. Apalagi sebenarnya APJII juga punya andil dalam pengelolaan dana domain .ID. Selama bertahun-tahun pengelolaan dana domain .ID ditanggung-renteng oleh APJII dan cctld-ID, dengan bagi hasil 50-50, setelah pajak dibayarkan.

APJII bertugas pada urusan administratif seperti melakukan penagihan kepada para pengguna domain .ID, sedangkan cctld-ID lebih kepada urusan teknis. Yang mungkin kemudian menjadi salah satu yang dipermasalahkan adalah disetornya bagian untuk cctld-ID ke rekening pribadi pengelolanya. Memang cctld-ID saat itu belum memiliki badan hukum yang jelas. Adapun yang menjadi bagian APJII, masuk ke rekening milik asosiasi.

Yang jelas, baik APJII maupun cctld-ID saling mengklaim bahwa dirinya tak melakukan KKN dalam pengelolaan dana domain .ID, dengan pembukuan yang rapi dan sewaktu-waktu mempersilahkan untuk di audit.

Redelegasi Mandat

Terkait dengan mandat pengelolaan domain .ID, APJII bersikeras untuk memaksa Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), sebuah lembaga internasional yang mengurusi domain sedunia, menarik dan menunjuk kembali (redelegasi) mandat tersebut yang selama ini dijalankan oleh tim cctld-ID.

Padahal di sisi lain, cctld-ID telah menyiapkan suatu badan hukum baru untuk pengurusan domain .ID kedepan, yaitu Persekutuan Perdata Domain Indonesia (PPDI). Cctld-ID juga telah menunjuk 5 (lima) pihak melalui fit and proper test yang nantinya akan berhubungan langsung dengan pelanggan dalam urusan administrasi pendaftaran dan pembayaran (registrar), pasca bercerai dengan APJII.

Menurut kabar, APJII berharap ICANN akan menyerahkan mandat tersebut ke (cikal-bakal) Yayasan Indonesia Network Information Center (ID-NIC). Siapapun yang akan duduk di yayasan tersebut, menurut APJII, tak menjadi soal. Bahkan termasuk mantan pengelola cctld-ID nantinya, sangat mungkin duduk sebagai pengurus di yayasan tersebut. Karena yayasan tersebut direncanakan akan merupakan dari-oleh-untuk komunitas.

Yang jelas, dalam pergeseran peta "politik" TI di Indonesia, Yayasan ID-NIC rencananya akan berada di bawah Lembaga Internet Indonesia (LII). Adapun yang saat ini menjadi pengurus LII antara lain adalah Soekarno Abdulrahman, mantan Sekjen Masyarakat Telematika (Mastel) dan Andi Budimansyah, yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas APJII.

Di dalam LII tersebut akan bergabung pula antara lain APJII, Mastel, Internet Society (ISOC) Indonesia dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII). Yang jelas, beberapa anggota dewa pengurus ataupun dewan pengawas di APJII memang juga menduduki beberapa jabatan strategis di ISOC, FTII ataupun LII itu sendiri. Misalnya saja Teddy Purwadi, Sekjen APJII yang juga Sekjen FTII, sekaligus Ketua ISOC Indonesia. Adapun APJII sendiri, merupakan anggota dari FTII dan ISOC Indonesia, serta sebagai Asosiasi Pendukung pada Mastel.

Seru bukan?

Garis Keras

Kedua belah, APJII maupun cctld-ID, tentu pernah punya dasar yang kuat untuk saling berbagi tanggung-jawab dalam mengelola amanah yang diberikan oleh komunitas TI Indonesia ataupun global. Dan bukan tidak mungkin, salah satu dasar tersebut adalah kepercayaan dan amanah komunitas. Tetapi begitu dasar tersebut tak lagi kuat untuk ditapaki, maka bukan tidak mungkin keduanya saling mengorek-ngorek kesalahan pihak lain, atas nama amanah komunitas juga. Bagaimana mungkin, "amanah komunitas" seakan dipakai untuk melegalkan kerjasama APJII dan cctld-ID, dan sejurus kemudian dipakai kembali untuk hal yang bertolak belakang?

Banyak juga yang meyakini bahwa perseteruan antara APJII dan cctld-ID ini merupakan api dalam sekam selama bertahun-tahun yang kemudian sengaja diguyur bensin oleh pihak-pihak tertentu. Lalu pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Mudah saja, karena APJII terus mengalami suksesi kepengurusan dengan beragam tipikal kepengurusan. Setelah sebelumnya sempat berhaluan akomodatif, APJII yang kini diyakini sebagai APJII garis keras.

Emas dan Cinta

Sejarah pengelolaan nama domain memang cukup ruwet, dengan berbagai versi yang diklaim kebenarannya oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Sehingga ketika akhirnya APJII dan cctld-ID resmi bercerai beberapa bulan silam, maka terjadilah perebutan hak mengasuh "anak emas", domain .ID. Orang pun mulai mengira-ngira, bahwa semuanya adalah UUD, alias ujung-ujungnya duit. Tetapi bisa saja sebenarnya bukan itu, atau lebih daripada itu. Karena siapapun pengelola domain .ID akan lebih mudah untuk mempertahankan eksistensinya di mata komunitas TI global.

Mudah-mudahan perkembangan terkini APJII vs cctld-ID dapat mulai mengarah ke hal yang lebih baik. Di satu kesempatan yang terpisah, baik APJII dan cctld-ID telah menyatakan niatnya untuk mengendurkan perang urat syaraf di antara mereka.

Dengan demikian, penyelesaian terbaik atas sengketa di antara mereka, seharusnya akan menjadi hal yang terbaik pula bagi komunitas TI di Indonesia. Penyelesaian yang terbaik tentunya dilandasi atas dasar saling menghargai, serta yakinlah bahwa komunitas TI di Indonesia ataupun global telah memiliki mekanismenya sendiri dalam hal penyelesaian sengketa, tanpa harus buru-buru melibatkan pihak lain.

Pun jauh hari, 'The Beatles' telah berpesan, "and in the end, the love we take is equal to the love we make."


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Sunday, July 03, 2005

Weekly Review: Penegakan HaKI Kehilangan Taji?

Minggu , 03/07/2005 14:10 WIB
Weekly Review: Penegakan HaKI Kehilangan Taji?
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Beberapa hari silam saya sempat berdiskusi oleh salah seorang sahabat saya, tentang dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di Indonesia. Bicara kesana-kemari, salah satu topik diskusi yang menjadi penajaman adalah pada pembajakan software di Indonesia. Kemudian rekan saya tersebut bertanya, sistem operasi dan aplikasi apa yang biasa saya pakai.

Setelah saya menyebutkan satu nama produk tertentu, dia pun bertanya kembali, "mengapa menggunakan (produk) itu? Apakah lebih nyaman? Bagaimana keamanannya jika dibandingkan produk lain?" dan serentetan pertanyaan lainnya. Kebetulan, sahabat saya tersebut adalah pengguna produk yang konon menjadi "seteru" produk yang saya pakai.

Saya tidak menjawab satu-per-satu pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selain hanya akan berbuntut pada perang 'idiologis' yang tak berujung-pangkal, debat kusir adalah hal yang sebisa mungkin saya hindari.

Saya hanya menjawab, "Saya menggunakan produk tersebut karena itulah pilihan saya. Yang paling utama ketika saya menentukan pilihan adalah bukan karena baik-buruknya suatu produk menurut orang lain, tetapi karena saya yakin semua orang memiliki hak untuk menentukan pilihannya dengan alasan masing-masing, sebagaimana tak ada yang berhak memaksakan pilihannya kepada orang lain,"

Saya mungkin bukan penganut aliran garis keras. Saya tidak pro-A ataupun pro-B. Saya pro-choice!

Lalu mungkin lantaran tidak puas, sahabat saya tersebut mengajakan satu pertanyaan lagi, "kalau begitu, bagaimana dengan polisi, pemerintah dan BSA yang seperti pilih-pilih ketika melakukan aksi sweeping?. "Apakah itu juga karena mereka pro-choice?" tanyanya seakan meledek saya.

Telur vs Ayam

Sejujurnya saya tidak punya jawaban yang pasti atas pertanyaan terakhir tersebut. Karena saya memang tidak tahu, "ada apa dengan sweeping" yang akhir-akhir makin marak terjadi di Indonesia.

Pertama, saya tidak terlalu yakin apakah yang kerap melakukan sweeping di warnet-warnet itu adalah resmi dari kepolisian ataukah oknum. Kedua, saya juga tak jelas, apakah pemerintah sendiri punya itikad yang tegas untuk mengatasi pembajakan ataukah sekedar menjadikan UU No. 12 / 2002 tentang Hak Cipta sebagai basa-basi politik dan bisnis luar negeri. Ketiga, apakah memang Business Software Alliance (BSA) yang didanai oleh sejumlah vendor software / hardware besar tersebut memiliki kebijakan untuk pilah-pilih target sweeping.

Ketika banyak warnet di daerah yang di-sweeping, saya menjadi bertanya-tanya, ketika salah satu targetnya yang akan dikenakan tuntutan hukum adalah warnet yang sejatinya telah menggunakan sistem operasi legal. Bahkan ada indikasi bahwa dibalik aksi sweeping tersebut, urusannya sudah soal duit dan palak-memalak. BSA memang secara tegas menyatakan bahwa warnet bukanlah primary target mereka, tetapi banyak yang yakin bahwa ilmu para aparat penegak hukum dalam mengendus potensi pelanggaran hukum terkait dengan penggunakan software bajakan, adalah didikan BSA juga.

Dan ilmu inilah yang ketika diimplementasikan di lapangan oleh para oknum, cukup berkhasiat untuk menyedot upeti dari warnet. Industri warnet memang seakan terus saja distempel negatif oleh banyak pihak, dari sekedar penyolong bandwidth, Internet Service Provider (ISP) gelap, sarang pornografi dan cybercrime, hingga kini sebagai pelanggar hak cipta.

Lalu ketika pemerintah gembar-gembor dalam rencana aksinya menegakkan UU No. 12 / 2002, ketika berbicara tentang industri software, yang dilapangan justru terasa sebaliknya. Toko-toko penjual CD software bajakan masih banyak ditemui di berbagai pusat pertokoan di Jakarta, dan tetap laris-manis dikunjungi. Mereka bahkan seperti tak terjamah oleh hukum. Demand memang sangat tinggi, karena beberapa alasan yang kerap diteriakkan, yaitu mahalnya software legal. Sehingga supply pun mengikuti, seperti sudah dipakemkan oleh hukum ekonomi.

Kalau bolak-balik permasalahan hanya di supply dan demand, maleslah awak berdebat! Kita terbiasa (terus) membajak karena mudahnya memperoleh software bajakan, dan software bajakan akan terus ada karena kita (terbiasa) membeli bajakan. Mungkin kita seharusnya bisa menjawab dulu, duluan mana antara ayam dengan telur!

Kehilangan Taji

Pun ketika BSA menyatakan bahwa pemerintah adalah mitra mereka, padahal dikabarkan lebih dari 90 persen software yang dipakai oleh pemerintah adalah bajakan, target sweeping hanyalah tetap pada institusi bisnis. BSA seperti ayam jago kehilangan tajinya, ketika bicara soal penegakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di pemerintahan. BSA kok memble, demikian tanya orang. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa strategi "pilih kasih", "double-standard" ataupun "mencla-mencle" tengah dimainkan oleh BSA.

Anggapan tersebut memang bukan tidak mungkin, karena nyaris semua pengguna komputer di Indonesia tahu, beberapa pusat pertokoan di Jakarta menjadi ajang distribusi dan jual-beli software bajakan. Slogan "anti pembajakan" pun seakan sekedar menjadi olok-olok, ketika poster-poster yang bertuliskan slogan tersebut terpasang di pintu masuk toko-toko software bajakan yang ramai pengunjungnya. Saya tidak terlalu yakin, BSA tidak tahu akan hal ini. Yang saya tahu, BSA tidak melakukan sweeping kepada pemerintah karena dianggapnya sebagai mitra.

Tutup Mata?

Nah kalau BSA ternyata juga tidak menjadikan para produsen dan distributor software bajakan sebagai target sweeping mereka, apa alasannya? Mungkinkah BSA tutup mata-mulut-telinga? Kalau pakem yang digunakan BSA ketika memilih target sweeping adalah pada penggunaan software bajakan untuk keperluan bisnis, sebagaimana (oknum) penegak hukum yang mentargetkan warnet karena juga sebagai institusi bisnis, bagaimana dengan para produsen dan distributor software bajakan yang jelas-jelas berbisnis (sekali lagi, berbisnis!) jual-beli software bajakan?

Mereka (para produsen dan distributor software bajakan) adalah pembajak yang sesungguhnya. Bukan berarti mereka lebih "berdosa" ketimbang institusi ataupun individu yang menggunakan produk bajakan. Sebab saya percaya, kesalahan suatu pihak tidak akan meringankan, ataupun menghapuskan, kesalahan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Jangan sampai alasan tidak di-sweeping-nya para produsen dan distributor software bajakan adalah lantaran BSA, polisi dan pemerintah bermitra (ataupun "bermitra") dengan mereka. Kok rasanya akan konyol sekali! Mudah-mudahan saja tidak demikian.

Yang kini bisa kita harapkan dari penegakan HaKI, khususnya untuk software, adalah keseriusan para stake holder untuk mencari tahu akar permasalahan, merumuskan solusi dan menjalankan aksi penegakan hukum tanpa pandang bulu dan main mata. Prinsip skala prioritas first think first harus dimainkan.

Memang, kita tak pada tempatnya "menghalalkan" pembajakan di sekolah ataupun warnet, dengan alasan karena pemerintah dan penegak hukum masih menggunakan software bajakan. Tetapi yang terpenting, akan sulit rasanya membersihkan, apabila sapu yang digunakan tidaklah bersih. Dan itu tak ada kaitannya sama sekali dengan pro-choice yang saya pahami!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com