Dekonstruksi Teknologi Informasi

Wednesday, June 22, 2005

Weekly Review: Ketika Ponsel Menabrak Pakem Privasi

Rabu , 22/06/2005 12:45 WIB
Weekly Review: Ketika Ponsel Menabrak Pakem Privasi
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review) Adalah sebuah teknologi bernama telepon selular (ponsel), yang kemudian melahirkan sebuah budaya baru bagi masyarakat di dunia yang sudah sangat renta ini, yaitu "budaya mobilitas" (culture of mobility). Budaya bergerak inilah yang kemudian menginspirasikan sekian banyak para pemuja piranti teknologi informasi (TI) untuk dapat berkomunikasi kapan dan di mana saja. Bahkan salah satu produsen ponsel terkemuka, menjadikan budaya mobilitas tersebut sebagai salah satu pameo budaya kerja mereka.

Para penganut budaya mobilitas percaya bahwa ruang dan waktu tidak lagi menjadi sesuatu batasan dalam bekerja, berkomunikasi dan beraktifitas. Dengan mengadopsi budaya mobilitas, kantor Anda adalah diri Anda sendiri. Kantor Anda ter-embedded pada diri Anda, kemanapun Anda pergi.

Anda bahkan bisa "melipat dunia", hanya bermodalkan sebuah ponsel. Teleworking, telecommuting, teleconference dan bertele-tele lainnya, kini sudah bisa dilayani oleh ponsel. Tentunya ponselnya juga harus yang canggih punya, bukan yang sekelas "jutaan umat" pada beberapa tahun silam yang laris-manis walaupun keunggulannya hanya pada game uler-uleran-nya.

Kini ponsel dengan kelengkapan kamera untuk still image hingga video, dengan resolusi yang semakin membaik, adalah pilihan bagi mereka yang berduit cukupan. Bluetooth dan MMS pun adalah suatu keharusan ketika mereka memutuskan untuk membeli ponsel. Digunakan atau tidak itu urusan nanti, mungkin ngerti fungsi dan memfungsikannya pun tidak. Pokoknya, nge-trend gitu lho!

Celakanya, suatu budaya tak lebih dari sekedar hasil kreasi akal-budi manusia yang kerap tak dilengkapi dengan "buku manual", termasuk budaya mobilitas tersebut. Sehingga mereka yang hidup di dan dengan budaya tersebut kemudian mudah menjadi gamang ketika menyadari bahwa bersama budaya mobilitas ternyata ikut pula terbawa beberapa dampak yang dapat memukul balik para pengikutnya. Mereka tak siap menghadapinya.

Budaya mobilitas (baca: ponsel) ternyata juga "menabrak" pakem privasi, yaitu dengan nyasarnya konten pornografi hingga ke tempat privat dan nyasarnya konten privat hingga ke tempat publik.

Konten Porno ke Tempat Privat

Untuk dampak yang pertama, yaitu nyasarnya konten pornografi hingga ke tempat privat, ini sempat menjadi headline di tabloid Nakita (nomor 316, tahun VII, 23 April 2005) beberapa waktu lalu. Diberitakan dalam tabloid tersebut, bahwa anak-anak usia dini yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), sangat rentan terpapar konten pornografi melalui ponsel yang dibawanya. "Pornografi di Ponsel Anak, Banyak Anak SD Jadi Sasaran!", demikian tabloid tersebut menuliskan besar-besar judul beritanya pada halaman depan.

Memang dengan membekali ponsel ke anak, orang tua akan bisa selalu berkomunikasi kapan saja dengan anaknya. Masalahnya, baik orang tua maupun si anak ternyata tidak terlalu paham tentang fitur-fitur ponsel. Walhasil, si anak dibekali ponsel yang tercanggih, lengkap dengan fasilitas MMS-nya, yang kemudian menjadi salah satu target konten porno yang nyasar.
Ponsel sebagai sarana komunikasi yang paling privat antara orangtua dan anak, pun ternyata dapat dikotori dengan konten-konten porno dari antah-berantah.

Padahal urusannya simpel saja. Jangan berikan ponsel yang canggih untuk digunakan oleh anak. Berikan saja ponsel dengan fitur paling minim, cukup telepon dan SMS saja. Paling banter harga barunya hanya setengah jutaan saja. Daripada memanjakan anak dengan teknologi tercanggih, yang akhirnya malah jadi berabe.

Konten Privat ke Tempat Publik

Kemudian, dampak kedua ini juga tidak kalah seru. Kini di Internet semakin banyak berseliweran gambar-gambar (still image) ataupun cuplikan video (video clip) dengan konten lokal yang cukup "panas"! Konten-konten tersebut kuat diduga diambil dengan menggunakan fasilitas kamera pada yang sudah built-in pada banyak ponsel keluaran terkini.

Misalnya ada sebuah video clip yang menggambarkan suasana di dalam ruang kelas dengan beberapa siswi menggunakan baju seragam berlambang OSIS, kemudian saling mempertunjukkan beberapa bagian tubuh mereka yang sebelumnya tertutup oleh baju seragam. Beberapa mailing-list (milis) yang turut mendistribusikan konten-konten tersebut kerap mempercayai bahwa para obyek dalam konten tersebut adalah siswi SMU negeri yang cukup terkenal di Jakarta.

Selain itu, kini tengah heboh penyebaran konten video clip seseorang perempuan yang diklaim sangat mirip Mawar, juara 2 AFI. Bahkan banyak pula yang yakin bahwa obyek dalam video clip tersebut memang benar Mawar itu sendiri. Dalam konten tersebut si perempuan tengah dilulur dan tampak setengah badan ke atas tanpa busana. Sembari dilulur, ada seorang rekannya yang merekam menggunakan sebuah ponsel dan tampak akrab bercakap-cakap dengan perempuan tersebut. Tablod Star Nova (nomor 142, tahun III, Mei 2005) bahkan memajang besar-besar judul "Adegan Panas Mawar AFI Beredar!" pada halaman depannya.

Yang menarik dari kedua contoh di atas adalah, bahwa baik antara si perekam gambar maupun pihak yang direkam gambarnya, ternyata sama-sama saling kenal, berinteraksi secara langsung saat penggambilan gambar dan tampak tidak adanya unsur paksaan. Dan bukan tidak mungkin, para pihak yang terlibat tersebut memang tidak pernah punya itikad untuk menyebarluaskan "hasil karya" mereka. Toh memang tidak salah ketika berkreasi sesuatu untuk koleksi pribadi atau terbatas.

Lalu mengapa koleksi pribadi tersebut bisa meluncur bebas di Internet? Salah satu hasil analisis yang masuk akal adalah karena koleksi tersebut "dicuri". Karena dengan berbagai trik yang tidak terlalu sulit, kini konten apapun yang ada di ponsel berfitur canggih, akan dapat disadap. Lupa mematikan fitur bluetooth di tempat umum misalnya, ditambah dengan sedikit kecerobohan dalam menjawab pesan yang muncul di layar ponsel, akan mengakibatkan seluruh isi ponsel dapat dikopi oleh seseorang yang antah-berantah.

Mobilitas vs Permisifitas

Kalau sudah begini keadaannya, maka tak ada hal lain yang bisa kita lakukan, selain lebih cerdas dalam memilih dan menggunakan teknologi. Sekedar mengikuti tren tanpa pengetahuan yang cukup, sama saja bunuh diri. Memang kita lebih senang mengutuk para pelaku penyebaran konten privat ke tempat publik atau konten porno ke tempat privat. Dan konyolnya, bukan bualan jika akhirnya teknologi yang disalahkan.

Padahal teknologi adalah sekedar alat pemutar suatu budaya, budaya mobilitas. Dan memang akhirnya yang namanya mobilitas bukan lagi sekedar pada pelakunya, tetapi juga pada kontennya. Ketika Anda memilih hidup pada budaya mobilitas ini, maka batasan antara privasi ataupun ruang privat menjadi kabur. Privasi adalah hal yang kian hari kian diperjuangkan oleh banyak orang, tetapi di saat yang bersamaan keberadaan teknologi seolah berada pada garis yang berseberangan.

Untuk itu, tak ada salahnya jika kita pahami bahwa dalam budaya mobilitas, yang bergerak (mobile) selain pelaku dan kontennya, juga tingkat permisifitas kita. Kita semakin "dipaksa" untuk memaklumi bahwa privasi haruslah digadaikan dalam budaya mobilitas. Dan ini berarti termasuk privasi anak-anak dan para remaja kita! Mudah-mudahan deskripsi pada paragraf terakhir ini tidak pernah terjadi!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Sunday, June 19, 2005

Weekly Review: Experience Konsumen adalah Raja

Minggu , 19/06/2005 17:00 WIB
Weekly Review: Experience Konsumen adalah Raja
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Experience (pengalaman) adalah hal yang seharusnya paling dikedepankan ketika kita ingin menawarkan suatu produk atau jasa kepada para (calon) konsumen. Karena ketika persaingan bisnis sudah sedemikian ketat, sehingga setiap pelaku bisnis mengunci habis-habisan setiap sumber daya miliknya agar tidak diserobot pesaing, maka salah satu celah yang masih bisa dimainkan adalah menawarkan experience yang unik kepada konsumen.

Belajar dari ajang CommunicAsia2005 di Singapore beberapa hari lalu, hampir setiap booth yang memamerkan produk consumer goods memajang produk aslinya untuk dicoba dan dimainkan, bahkan termasuk dicium dan dirasakan. Jadi tidak sekedar memajang produk dummy dan bagi-bagi brosur saja. Pun tidak pula produk aslinya disimpan dibalik etalase kaca yang terkunci rapat.

Misalnya untuk suatu produk ponsel merek tertentu, para pengunjung dapat langsung bereksperimen atas fitur-fitur di dalamnya. Bahkan fitur gamenya dapat dicoba, dengan dibantu sebuah layar LCD 14 inci. Experience pengunjung ketika mencoba bermain game melalui ponsel dibuat sedemikian rupa, menjadi sesuatu yang tidak "biasa-biasa saja".
Ada pula sebuah teknologi mesin penyeduh kopi yang bisa di-maintain secara remote menggunakan Internet, yang didemokan dengan cara memberikan secangkir kopi hangat (dengan bebauan kopi seduhan yang khas) kepada pengunjung.

Tanpa harus banyak bicara tentang detil teknis bagaimana mesin itu bekerja, benak pengunjung sudah dibuai sedemikian rupa dengan experience atas rasa dan harumnya secangkir kopi hangat yang merupakan hasil seduhan dari mesin berintelegensia buatan.

Presepsi

Bermain dengan experience berarti bermain dengan presepsi. Dengan memberikan stimulus experience yang tepat, maka presepsi (calon) konsumen atas suatu produk atau jasa akan dapat lebih diarahkan. Termasuk pula untuk produk atau jasa yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

Masih banyak produsen atau vendor yang mengedepankan sisi teknis atas barang dagangannya ketika melakukan promosi. Memang, di lingkup ICT, teknis (dan teknologi) adalah raja. Siapa yang menguasai teknologi terkini, dia akan bisa menghasilkan karya yang lebih maju. Pasalnya, "lebih maju" belum tentu selaras dengan "lebih diminati" atau "lebih dibutuhkan" oleh konsumen.

Kebutuhan memang bisa dibuat, sehingga akan selalu ada pasar untuk setiap produk atau jasa baru yang unik. Tetapi ketika akhirnya terdapat sekian banyak opsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terlebih pada produk dan jasa berbasis ICT, maka mengedepankan sisi teknis belaka sudahlah tak jamak di masa sekarang.

Calon konsumen harus memiliki presepsi yang bagus dan kuat atas produk dan jasa yang ditawarkan, dan itu bisa dimunculkan dengan memberikan experience yang tepat. Dan jangan lupa, presepsi akan lebih pada kesan pertama yang begitu "menggoda", dan kesan pertama (calon) konsumen harus dijaga.

Bulan Madu

Saat ini usia bulan madu sebagai "pengantin baru", alias sebagai penggagas awal trendsetter suatu produk atau ICT, sangatlah pendek. Produk ponsel Nokia, jika ingin menyebut salah satu contohnya, berani memainkan experience ketika meluncurkan ponsel tipe 5110 sekitar tahun 1998-1999 yang kemudian dikenal sebagai "ponsel sejuta umat". Salah satu keunggulannya adalah pada game "snake"-nya.

Walhasil tak lama kemudian hampir semua ponsel memasang aneka game sebagai fitur dasarnya. Ponsel (juga) sebagai media hiburan dan gaya hidup, demikianlah yang kemudian berhasil mengantarkan Nokia sebagai jawara produsen ponsel di dunia saat ini. Atau contoh lain terkini adalah fenomena kelahiran iPod, ketika era keemasan walkman sudah berlalu. iPod kemudian seolah me-reinkarnasi-kan kegandrungan orang memasang earphone di telinga. Apple pun berani melanggar pakem warna hitam - silver - abu-abu untuk produk ICT, dengan memilih warna putih bersih atas iPod dan produk turunannya.

Segera setelah itu berbagai vendor gadget seakan berlomba mengeluarkan produk mp3 player dengan besaran kapasitas penyimpanan yang berbanding terbalik dengan dimensi fisiknya, dengan pilihan warna putih yang dominan. Tetap, pamor iPod tak tergoyahkan dan malah semakin kukuh.

Tak Lari

Jika akhirnya para pesaing berebut masuk pada pasar yang sama, maka langkah selanjutnya adalah mengatur strategi agar presepsi konsumen tetap dapat dijaga dengan memberikan experience yang unik terus-menerus. Sebabnya cuma satu, agar konsumen tak lari ke produk pesaing.

Karena loyalitas konsumen ICT kini tak lagi sekedar pada kecanggihan fitur, fungsi dan teknis belaka, tetapi sudah lebih kepada presepsi atas suatu produk atau jasa yang digunakannya. Dan presepsi terbentuk lantaran keunikan experience yang didapatkan. Memang, tak salah apabila disampaikan oleh orang bijak bahwa konsumen (ICT) adalah raja.


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Sunday, June 12, 2005

Weekly Review: Karena Bisnis Anda Warnet.....

Minggu , 12/06/2005 14:10 WIB
Weekly Review: Karena Bisnis Anda Warnet.....
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Bicara tentang carut-marutnya industri warung internet (warnet) di Indonesia, rasanya tak elok jika kita kemudian melontarkan sejuta sumpah serapah tak berujung-pangkal di berbagai mailing-list (milis) untuk menyampaikan ketidakpuasan atau sekedar ikut meramaikan suasana.

e-Mail hujatan, cacian dan makian datang silih-berganti, membuat panas kuping berbagai pihak yang diyakini oleh beberapa gelintir orang sebagai pokok permasalahan. Dari (oknum) aparat penegak hukum, pemerintah, vendor hingga masyarakat umum pun tak luput kena tuding. Repotnya, banyak pula yang mengamini isi e-mail tersebut!

Memang di satu sisi, para pelaku industri warnet pantas untuk mengeluh. Sweeping yang telah dialami oleh beberapa warnet lain sebelumnya, seakan menjadi momok yang paling menakutkan bagi warnet lainnya. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, lantaran sweeping yang terjadi kerap dibarengi dengan aksi "main angkut" perangkat komputer warnet oleh pelaku sweeping.

Warnet yang sudah terlanjur diangkut perangkatnya, terpaksa gigit jari. Sedangkan bagi yang lain, seakan tak berdaya menunggu giliran, untuk dijungkir-balikkannya periuk nasi mereka.
Dan, terjadilah berbagai komentar di berbagai milis yang niatnya melakukan kritikan kepada pihak-pihak tertentu. Dari soalan pemerintah yang dianggap lalai memperhatikan industri warnet, (oknum) aparat penegak hukum yang dikatakan mengejar setoran, vendor software besar yang disebut tak peka kondisi bangsa hingga masyarakat umum yang dinyatakan malas belajar menggunakan suatu software alternatif.

Sayangnya, kian kemari komentar yang bak gayung bersambut tersebut makin sembrono, cenderung tidak konstruktif dan mulai mencari-cari kambing hitam.

Membajak Salah

Biar bagaimanapun, yang namanya membajak (software) adalah salah! Dan, kesalahan tersebut tak pula tereliminasi ketika alasan yang diajukan adalah soal ekonomi ataupun perut. Kesalahan membajak hanyalah sebatas dapat "dipahami" sebagai konsekuensi logis atas keberadaan suatu kondisi penyebabnya, dan tak lebih dari itu. Dapat dipahami bukan berarti dimaklumi untuk terjadi atau bahkan dibiarkan untuk terus terjadi.

Ketika warnet kemudian dipercaya sebagai suatu entitas bisnis, maka hitung-hitungan bisnis pun harus digunakan ketika menyusun proposal, mendirikan warnet hingga menjalankan administrasi sehari-hari. Tak sedikit memang warnet yang lupa untuk memasukkan komponen biaya pengadaan software operating system dan aplikasi pendukung lainnya ketika membangun dan menjalankan warnet. Semua melulu tentang infrastruktur yang lebih kasat mata, dari gedung/ruangan, perabotan, perangkat komputer, sdm dan sebagainya.

Sedangkan untuk pengadaan software, dianggap sudah masuk dalam harga perangkat komputer. Toh, mungkin dipikirnya, untuk software sudah cukup dengan membeli beberapa keping CD bajakan berisi kompilasi software, yang harganya tak lebih dari sekian ribu perak.

Pilihan Jelas

Padahal pilihannya sudah jelas, gunakan software proprietary yang legal atau gunakan software open source! Dan ini pun ternyata tidak mudah, ketika alasan yang kemudian dipakai adalah bahwa masyarakat umum tidak familiar dengan berbagai software alternatif. Perubahan (ke arah yang lebih baik) memang membutuhkan suatu daya dan upaya yang lebih. Dan terkadang kita lebih suka berada (dan terperangkap) dalam comfort zone, sehingga kita enggan melakukan perubahan karena sudah terlanjur nyaman.

Dan sejuta alasan memang akan disampaikan oleh mereka yang lebih suka berada di comfort zone tetapi stagnan dan cenderung beresiko, ketimbang mengeluarkan keringat untuk mendaki ke satu area yang ternyata lebih menguntungkan di kemudian hari.

Warnet yang melakukan migrasi ke software open source ataupun memilih menggunakan software proprietary yang legal, adalah mereka yang bersedia berkeringat. Dan itu jauh lebih aman dan lebih mulia, ketimbang petak-umpet mencari rejeki dengan menggunakan software bajakan. Dan saya salut dengan pebisnis warnet yang berani meninggalkan comfort zone mereka untuk bergerak ke kondisi yang lebih baik.

Pemerintah Sibuk

Di sisi lain, pemerintah pun seharusnya berani melakukan negosiasi (dan tekanan) terhadap para vendor kelas dunia yang menguasai hajat hidup orang banyak di Indonesia. Percuma saja meratifikasi berbagai kesepakatan dalam pertemuan dunia World Summit Information Society (WSIS), tetapi ketika berhadapan dengan hegemoni suatu vendor, pemerintah kita menjadi mlempem.

Ketika Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) kemudian memilih Microsoft untuk menjadi konsultannya, maka tak heran kemudian banyak yang mempertanyakan langkah tersebut. Sebab, Departemen Kehakiman dan HAM yang membawahi Dirjen HaKI, notabene adalah salah satu penggagas gerakan Indonesia Goes Open Source (IGOS). Keberadaan IGOS pun seakan dikerdilkan.

Pun ketika Presiden SBY berkunjung ke Amerika beberapa waktu lalu dan melakukan pertemuan dengan Bill Gates, bos Microsoft Corp., tampaknya tak ada negosiasi (atau bahkan tekanan) agar penentuan harga jual produk Microsoft di tanah air bisa mempertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat. Tak ada! Pemerintah mungkin terlalu mengagumi Bill Gates. Atau bisa jadi lantaran terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.

Berharap terlalu banyak kepada Microsoft Indonesia untuk dapat segera melakukan manuver-manuver pun rasanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena sebagai sebuah entitas bisnis internasional, setiap langkah Microsoft Indonesia haruslah atas sepengetahuan dan persetujuan Microsoft regional di Singapura dan Microsoft pusat di AS.

Kita hanya bisa meminta agar kondisi faktual di lapangan dapat menjadi kepedulian dan pertimbangan utama pihak Microsoft Indonesia ketika bernegosiasi dengan Microsoft regional ataupun pusat.

Sweeping Warnet

Lalu mengapa warnet di-sweeping? Karena Anda berbisnis warnet! Itu mungkin sekedar jawaban yang sederhana untuk pertanyaan yang cukup pelik tersebut. Yang jadi masalah adalah ketika sweeping tersebut kemudian dibarengi dengan pengangkutan perangkat komputer ataupun pemalakan untuk upeti oknum aparat.

Warnet yang menggunakan software bajakan, memang beresiko tinggi untuk terkena sweeping dan dituduh melakukan kejahatan berupa pelanggaran hak cipta. Tetapi tak sedikit pula warnet yang kemudian memilih berdamai dengan oknum aparat, dengan menyetorkankan upeti secara berkala.

Ketika hal tersebut menjadi suatu kebiasaan, akhirnya menjadi rahasia umum bahwa warnet memang cukup laris-manis untuk dipalak karena ketidakberdayaannya. Alasan yang digunakan saat sweeping pun simpel, yaitu untuk memeriksa tentang keberadaan penggunaan software bajakan. Sehingga ketika secara beramai-ramai aksi sweeping tersebut menggunakan lagu yang sama, maka timbul kesan bahwa aksi tersebut ditunggangi oleh pihak atau vendor tertentu.

Bukan Jaminan

Bahwa aparat penegak hukum menjadi paham tentang seluk-beluk software bajakan lantaran didikan vendor, bisa saja. Karena ada sebuah institusi yang memiliki kaki-tangan di seluruh negara, yaitu Business Software Alliance (BSA) yang didanai oleh sejumlah vendor software kawakan. BSA inilah yang kemudian melakukan edukasi kepada aparat penegak hukum di tiap negara, termasuk Indonesia.

Dan BSA jugalah yang kemudian diyakini banyak pihak sebagai pembisik aparat kita untuk melakukan sweeping ke institusi tertentu, termasuk ke warnet. Padahal sudah ditegaskan oleh pihak BSA, bahwa warnet bukanlah prioritas penegakan hukum olehnya. BSA juga menyangkal pihaknya berada dibelakang aksi-aksi sweeping belakangan ini.

Kalau demikian, maka bisa jadi aksi sweeping yang dilanjutkan dengan pengangkutan perangkat komputer yang membabi-buta ataupun pemalakan upeti yang terjadi adalah memang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum. Penggunakan software bajakan adalah satu dari sekian alasan yang telah disiapkan. Jadi, belum ada jaminan bahwa jika warnet menggunakan software yang legal ataupun open source sekalipun, akan bebas dari aksi-aksi tersebut.

Kemudian jika alasan sweeping adalah penegakan hukum, apapun dapat menjadi landasannya. Dari soal perijinan, keamanan lingkungan, lisensi software, pornografi, pajak, badan hukum hingga urusan terorisme!

Peran Asosiasi

Disinilah sebenarnya peran asosiasi yang terkait dengan industri warnet, untuk membantu para pebisnis warnet. Penyelesaian secara parsial dan kasus per kasus, akan menguras tenaga dan sumber daya yang tidak sedikit. Peran asosiasi haruslah pada penyelesaian permasalahan payungnya, bukan pada teknis lapangan para anggotanya.

Dan untuk itu, asosiasi itu sendiri pun seyogyanya memiliki legalitas yang jelas, diawaki oleh sdm yang dalam jumlah yang cukup, serta memiliki kapabilitas dan kompetensi dalam melakukan negosiasi terhadap setiap stake holder terkait. Ada kalanya, perjuangan yang dilakukan sekedar melalui milis tidak akan berdampak signifikan.

Jadi, sementara ini jika saya ditanyakan, "mengapa warnet (Anda) di-sweeping", maka maaf saya tak punya jawaban lain, selain "ya karena (bisnis Anda) warnet"!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Sunday, June 05, 2005

Weekly Review: Ponsel, Medium Bisnis Multimedia

Minggu , 05/06/2005 12:10 WIB
Weekly Review: Ponsel, Medium Bisnis Multimedia
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review) Rutin ketika masuk sesi weekend, saya harus hunting untuk mendapatkan ide dalam menulis Weekly Review. Pas kebetulan, suatu sore saya sedang berada di Plaza Semanggi untuk suatu urusan. Tak terasa, kaki saya mengayun ke toko buku Kinokuniya. Saya coba ubek-ubek buku di rak khusus Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), tidak ada yang menarik perhatian saya. Sejurus kemudian, saya segera beralih ke rak bagian majalah. Siapa tahu?

Setibanya di bagian majalah, pilihannya sangat beragam. Dari topik urusan rumah tangga, hobi, senjata, TI hingga fashion. Jelas, saya coba pusatkan mata saya di bagian majalah ICT luar negeri. Huaahh, setali tiga uang! Tak ada yang menarik. Bagaimanapun perkembangan ICT yang ditulis dengan "bahasa" yang terlalu teknis, dan seolah-olah hanya untuk kepentingan TI belaka, jelas bukan referensi utama saya dalam menulis.

Kemudian saya melihat di deretan majalah umum. Sejenak mata saya men-scan beberapa majalah internasional yang cukup saya kenal namanya. Sehalaman demi halaman saya buka-buka, dan tiba-tiba saya menyadari ada sebuah pola yang sama di beberapa majalah tersebut!

Konvergensi & Multimedia

Time, Forbes dan Newsweek, seakan berkomplot untuk mengangkat isu perkembangan ICT, khususnya konvergensi multimedia pada piranti ponsel, menjadi judul cover ataupun artikel lepas mereka.

Pada Business Week edisi 6 Juni 2005, meskipun memilih judul "Hackers Hunters. An elite forces battles the Webs dark side", didalamnya terdapat sebuah artikel lepas yang sangat menarik, dengan judul "$ 5.000! Put it on my cell. DoCoMos next big move: Phones that double as credit cards".

Artikel yang sangat menarik, karena dijelaskan pula bahwa dengan berbekal sebuah ponsel di Jepang, Anda bisa berbelanja minuman di vending machine, sebagai tiket kereta atau bioskop dengan sistem sensor yang terkoneksi dengan ponsel Anda, sebagai kartu kredit, dan banyak hal lainnya.

Adapun Newsweek edisi 6 Juni 2005 dengan pilihan cover yang lebih menekankan pada foto sebuah tangan yang memegang remote control dan diarahkan kepada pembacanya, memilih judul "The Future of TV. How new technology will revolutionize what you see and how you watch". Ada beberapa kalimat yang di underline di dalam artikel tersebut, misalnya "With IPTV you could watch (soup opera) and the news at the same time. And if the phone rings, called ID shows up on the screen".

Ada lagi, "Di ruang tengah, pinggirkan foto ibu Anda di dinding, (karena) layar TV Anda akan menggambil tempat tersebut. Dan jika Anda harus segera keluar rumah, lanjutkan saja menonton bagian terakhir film tersebut di notebook atau bahkan di ponsel Anda".

Nyaris senada dengan Newsweek, Forbes edisi 6 Juni 2005 pun mengangkat isu yang sejenis pada cover-nya. Its Cellevision! Entertaintment is lighting up mobile phones, demikian judul besarnya. Disain covernya sederhana, yaitu tampak sebuah ponsel model flip yang terletak di atas tangan milik tokoh internasional yang sangat legendaris dan digemari hingga saat ini, Micky Mouse!

Artikel di dalam majalah tersebut mengisahkan bagaimana dunia hiburan akan mulai "gila-gilaan" merambah ke piranti ponsel. Dan ponsel Anda akan segera menjadi piranti multi-informasi dan multi-aktifitas, semisal acara TV, musik, game, judi, navigasi dan bahkan pornografi.

Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa jangan anggap remeh bisnis konten berbasis ponsel. Kecuali tentu saja jika yang ada di pikiran Anda hanyalah bertelepon dan ber-sms saja ketika berbicara tentang manfaat ponsel. Dan menjadi perkecualian juga jika hitung-hitungan bisnis Anda hanya sebatas pada "kring-kring sring sring", alias sibuk pada urusan argo pulsa saja. Konten multimedia via ponsel, adalah bisnis yang tak terbatas!


Sumber naskah asli: www.detikinet.com