Dekonstruksi Teknologi Informasi

Monday, August 29, 2005

Weekly Review: Dia Online, Lantas Aku Berpikir...

Senin , 29/08/2005 01:24 WIB
Weekly Review: Dia Online, Lantas Aku Berpikir...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jogja, (Weekly Review). Cogito, ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada. Demikian Rene Descartes, seorang filsuf kebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-17 dan juga seorang matematikawan handal (salah satu hasil pemikirannya adalah Sistem Koordinat Cartesian, diambil dari nama lain Descartes yaitu Cartesius).

Rupanya Descartes ingin mengajak kita berpikir dengan ujarannya yang cukup terkenal tersebut, bahwa eksistensi kita adalah pada kemampuan berpikir kita dalam 'mengadakan' atau menyadari keberadaan diri kita sendiri.

Rumit? Tidak juga. Kontemplasi dan introspeksi, adalah jalan menuju ke eksistensi diri ala Descartes. Tetapi celakanya, di masa sekarang ini ternyata kita sulit untuk bisa percaya dengan pikiran kita sendiri, termasuk urusan yang kelihatannya paling sederhana, yaitu eksistensi atas suatu hal.

Bahkan yang jelas-jelas dijamin ada dan eksis namun tanpa wujud pun seakan terpaksa diredifinisi ulang oleh pikiran kita. Contohnya, tayangan-tayangan semacam 'dunia lain' di televisi kita. Untuk menjadi 'ada' seolah-olah harus dengan wujudnya yang tertangkap oleh mata dan kamera, sehingga tak cukup lagi dengan sekedar 'ada' dalam pikiran kita.

Kita pun terjebak untuk semakin manja, seeing is believing, kata orang. Aku melihat, maka aku percaya. Termasuk aku mendengar, membaca, mengecap, mencium, meraba dan seterusnya. Aku percaya, tanpa aku (harus) berpikir!

S1mone

Ada sebuah film koleksi saya yang cukup menarik, yang berjudul 'S1mone'. Beberap aktor yang bermain di film keluaran 2002 tersebut cukup kawakan, sebutlah semisal Al Pacino dan Winona Ryder. Al Pacino, berperan sebagai produser film yang nyaris bangkrut, bernama Viktor Taransky. Keadaan semakin buruk ketika dia dipecat dari sebuah studio film tempatnya bekerja. Belum lagi ketika bintang film asuhannya hengkang dari dirinya.

Dalam keadaan yang sudah sedemikian buruknya, Viktor kemudian mengutak-atik komputer. Hasilnya, lahirlah sebuah bintang baru, perempuan yang jelita, bersuara merdu dan cerdas, bernama S1mone. S1mone, yang lebih dari sekedar perempuan virtual hasil olahan citra komputer, menjadi bintang dan idola baru dalam sekejap. Orang tak pernah tahu tentang keberadaan sesungguhnya bintang idola mereka tersebut. Eksistensi S1mone adalah nyata, karena orang melihatnya dia ada, di televisi.

Kontan saja nama Viktor sebagai produser yang melahirkan bintang tersebut kembali bersinar. Dan itu harus ditebus dengan segala daya-upayanya untuk menyembunyikan jati diri S1mone. Viktor menjadi stres luar biasa. Kala itu Viktor masih merasa dirinya mampu mengontrol keberadaan tokoh imajinatif rekaannya tersebut. Tetapi Eline, istrinya, mencoba menyadarkan bahwa keadaan sudah berbalik dan Viktorlah yang kini dikendalikan, oleh popularitas dan eksistensi S1mone.

"I made her!" ujar Viktor. "No Viktor, she made You!" tegas Eline.

Vivian

Ada satu kisah yang cukup menarik, ketika pasca kerusuhan Mei 1998 berseliweran sebuah e-mail dari 'Vivian'. Vivian mengaku seorang gadis keturunan Tionghoa yang menceritakan secara lengkap dan detil tentang kapan, dimana dan bagaimana dirinya diperlakukan secara kurang manusiawi saat kerusuhan berlangsung.

Salah satu majalah yang melakukan penelusuran atas keberadaan Vivian tersebut adalah majalah DR (Detektif Romantika, kini sudah tidak terbit). Dalam pelacakannya tersebut, bahkan hingga ke sebuah pusat krisis dan rehabilitasi pasien trauma di Singapura, DR tidak berhasil menemukan Vivian pengirim e-mail tersebut.

Saat itu tak ada yang bisa yakin benar, bahwa Vivian memang ada. Tetapi 'eksistensi' Vivian sedemikian luar biasanya, sehingga akhirnya menjadi sebuah agenda publik yang nyaris tak terbantahkan. Beberapa media massa nasional bahkan memberitakan kisah tersebut, mungkin tanpa sempat membuktikan keberadaan gadis tersebut.

Hingga akhirnya informasi tentang Vivian tersebut sampai ke dunia internasional dan dikabarkan menjadi salah salah satu alasan bagi sebuah lembaga hak azasi manusia internasional untuk melakukan kecaman yang cukup pedas kepada Indonesia.

Aku Berpikir Maka...

Ketika kita berbicara tentang computer-mediated communication, alias komunikasi yang termediasikan oleh teknologi komputer (dan Internet), maka batasan antara ada dan tiada menjadi sangat tipis. Contohnya saja, jika kita berbicara tentang fasilitas Internet Relay Chat (IRC) pada Internet.

Aku online, maka aku ada. Tetapi, 'aku' yang mana? Karena di dalam sebuah chatroom, eksistensi seseorang terletak pada nickname yang turut bergabung. Masalahnya, nickname boleh ada di dalam 'ruang maya', tetapi orangnya bisa saja entah dimana.

Ataupun satu orang pun bisa memiliki beberapa nickname sekaligus, dan bergabung di chatroom yang berbeda. Bahkan satu orang tersebut bisa saja merepresentasikan lebih dari satu nickname dengan jenis kelamin yang berbeda-beda. Toh lawan bicaranya tetap sulit untuk menyadari hal tersebut.

Akhirnya kemudian timbulah masalah, ketika eksistensi seseorang lebih dilihat dari representasi atas simbol-simbol tertentu. Dan jika akhirnya kemampuan berpikir kita untuk mengidentifikasi eksistensi seseorang menjadi tumpul, maka bagaimana mungkin kita akan dapat mengidentifikasi eksistensi diri sendiri?

Aku online, maka aku ada. Aku berkirim e-mail, membuat blog, chatting, maka aku ada. Lantas aku berpikir, 'aku' yang mana?
Dia online, maka dia ada. Dia berkirim e-mail, membuat blog, chatting, maka dia ada. Lantas aku berpikir, 'dia' tak ada?


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Monday, August 22, 2005

Weekly Review: Kesenjangan Digital? Matikan Saja Listriknya...

Senin , 22/08/2005 09:05 WIB
Weekly Review: Kesenjangan Digital? Matikan Saja Listriknya...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Saya lupa kapan terakhir saya mendengar sumpah-serapah dan teriakan bernada frustasi dari sekian banyak orang sekaligus, ketika hal tersebut kembali terjadi pada pertengahan minggu lalu. Dan mungkin ini terjadi juga pada Anda, yaitu ketika tiba-tiba listrik mati total nyaris se-Jawa-Bali, pada saat jam sibuk.

Apes bagi yang tidak menggunakan alat semacam uninterruptible power system (ups) atau dikantornya tidak memiliki genset. Sudah ngetik panjang-panjang, eh menguap tak berbekas lantaran belum sempat di-save.

Sekedar pikiran nakal. Jika tanpa listrik tentu tak akan ada komputer. Tanpa komputer tak akan ada digital(isasi). Tanpa digital(isasi), berarti tak akan ada kesenjangan digital. Jadi solusi mengatasi kesenjangan digital adalah dengan meniadakan listrik? Hebat bener euy...

Bicara soal kesenjangan digital, alias digital divide saya ingin berbagi kepada Anda tentang sisi lain dari 'binatang' yang banyak dibicarakan orang tersebut. Dalam majalah Newsweek edisi 25 Maret 2002, ada satu artikel menarik yang berjudul "Debunking the Myths of the Digital Divide".

Menurut artikel tersebut, kesenjangan digital (akhirnya) hanya dipahami sebagai gap antara pemilik atau pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki atau menggunakan teknologi (the have nots).

Rentang dan Mitos

Artikel tersebut mengutip penelitian yang dilakukan oleh David Card, ekonom dari University of California dan John DiNardo, ekonom dari University of Michigan. Menurut Card dan DiNardo, ternyata komputer menyebabkan semakin melebarnya rentang gaji antara yang tertinggi dengan yang terendah. Penjelasannya begini, peningkatan penggunaan komputer di berbagai aspek pekerjaan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang high-skilled yang notabene tentu akan membutuhkan gaji yang lebih tinggi.

Di lain pihak proses komputerisasi yang dapat melakukan proses-proses pekerjaan rutin, mengurangi kebutuhan tenaga kerja yang low-skilled dan tentu saja akan sesuai kaidah permintaan-penawaran hukum ekonomi, gaji mereka pun akan semakin rendah. Tentu saja, Card dan DiNardo tidak serta-merta menyalahkan komputer untuk fenomena tersebut.
"Dengan peningkatan penggunaan komputer, rentang gaji akan terus melebar jika ternyata diikuti pula dengan terjadinya perubahan kebutuhan terhadap skill dari tenaga kerja," ujar mereka.

"The digital divide suggested a simple solution (computers) for a complex problem (poverty). With more computer access, the poor could escape their lot. But computers never were the souce of anyone's poverty and, as for escaping, what people do for themselves matters more than what technology can do for them", demikian penekanan pada artikel tersebut.
Ada sebuah buku yang menarik, yang bercerita tentang tren kesenjangan digital. Judulnya adalah 'The Digital Divide, Facing a Crisis or Creating a Myth?', terbitan MIT Press Sourcebooks tahun 2001.

Salah satu kutipan yang menarik adalah sebagai berikut, "no technology, in itsef, will ever eliminate the differences that arise among people who effectively utilize a technology and those who do not. Internet content can be created to allows everyone the opportunity to leard read, and as a readers, take full advantage of the information resources that exist and are being created. The divide between those who can read well and those who cannot is a real divide."

Fakta dan Realita

Sah-sah sajalah, dengan itikad baik, kini semua pihak mengejar target-target penetrasi telekomunikasi, komputer dan Internet dengan acuan World Summit on the Information Society (WSIS). Apalagi November tahun ini di Tunisia akan ada kali kedua perhelatan akbar tersebut. Jadi poles memoles data sedang dikebut habis-habisan, apalagi kalau yang secara realitanya kurang kinclong untuk dipamerkan di depan masyarakat dunia.

Tetapi seperti telah disebutkan pada beberapa paragraf di atas, setelah penetrasi tercapai, lalu apa? Banyak program peningkatan penetrasi ICT yang tak lebih dari sekedar memperluas pasar dan konsumen produk-produk ICT itu sendiri.

Seolah-olah ICT adalah sebuah tongkat sihir yang dapat begitu saja dialihtangankan kepada seseorang, dan pemegangnya bisa bersimsalabim membuat perubahan untuk dirinya, termasuk mengubah dari miskin menjadi kaya, atau setidaknya menjadi tidak terlalu miskin.

Tetapi kita harus ingat, bahwa kemiskinan tidak melulu terkait dengan keterbatasan mengakses informasi, yang notabene kerap dimanifestasikan sebagai keterbatasan memiliki atau menggunakan ICT. Dan di beberapa kondisi, memaksakan ICT untuk mengentaskan kemiskinan justru dapat memperburuk keadaan. Lah bagaimana tidak, harga komputer masih berjut-jut, penetrasi telekomunikasi masih alakadarnya, biaya akses Internet masih mencekik leher.

Sayangnya, hingga kini masih banyak pihak yang percaya bahwa obat mujarab kemiskinan (di Indonesia) adalah ICT. Sama mujarabnya ketika Indonesia (pernah) percaya bahwa hutang dapat mensejahterakan masyarakatnya. Menaruh begitu saja ICT di tengah-tengah masyarakat, alias sekedar menjual lepas seperti layaknya para saudagar ICT, tanpa ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengoptimalkan manfaat ICT tersebut, sama saja dengan membuka kotak pandora, alias kotak malapetaka dalam mitologi Yunani.

Untuk itulah, saya hanya ingin titip pesan kepada bapak-ibu yang akan menjadi delegasi Indonesia ke WSIS nanti, jangan nanti sekembalinya ke Indonesia malah membawa segudang titipan target dari WSIS yang memberatkan. Alih-alih dapat membantu meningkatkan kehidupan masyarakat kita, ujung-ujungnya malah dipakai oleh para saudagar ICT untuk melaris-maniskan dagangannya ke masyarakat kita, dengan jargon-jargon digital divide.

Boro-borolah "berjualan" isu kesenjangan digital di Indonesia. Kita ini masih berkutat di soal kesenjangan gizi, kesenjangan pangan, dan tentu saja kesenjangan listrik. Byar... pet....


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Monday, August 15, 2005

Weekly Review: Anda Pedjoeang Informasi atau Cuma Cecunguk?

Senin , 15/08/2005 01:10 WIB
Weekly Review: Anda Pedjoeang Informasi atau Cuma Cecunguk?
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). 60 tahun Indonesia merdeka! Bebas dari kolonialisme bangsa asing penggemar rempah-rempah hingga yang mengaku-aku sebagai saudara tua. Toh banyak yang yakin bahwa yang kita menangkan pada 1945 adalah baru memenangkan 'pertempuran' (battle), bukan 'perang' (war) itu sendiri. Masuk akal juga, mengingat bahwa hingga kini kita masih 'bertempur' melawan berbagai bentuk 'penindasan' oleh bangsa asing.

Kata orang bijak, untuk berjaya dalam perang, dibutuhkan sekian banyak kemenangan, dan mungkin saja, beberapa kekalahan dalam pertempuran. Ketika 17 Agustus 1945 adalah puncak dari pertempuran yang berhasil dimenangkan dengan menggunakan bambu runcing dan senjata hasil pampasan, maka pertempuran yang terjadi kini harus dihadapi dengan penguasaan dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)

Dan, ternyata kita masih tergagap-gagap ketika kolonialisme gaya baru mengedepankan informasi sebagai alat perangnya. Buktinya, kita menjadi seperti dipasangi kacamata kuda ketika Singapore Technologies Telemedia (ST Telemedia) menawarkan diri untuk membeli 41,94% saham PT Indosat Tbk beberapa tahun silam. Padahal beberapa bulan setelah itu saat rapat umum pemegang saham Indosat, ST Telemedia menerima pembagian laba (dividen) yang nilainya hampir sama dengan nilai nominal waktu membeli saham Indosat.

Akui sajalah, kita ternyata tak cukup punya bekal informasi untuk secara gigih mempertahankan Indosat. Dan memang, negara serumpun kita tersebut lebih piawai dalam utak-atik informasi, dan 'membeli Indonesia'. Mungkin Anda juga sudah tahu bahwa 35% saham PT Telkomsel juga telah lama dikuasai oleh Singapore Telecommunication (Singtel).

Yang jelas, baik STT maupun Singtel adalah perusahaan yang bernaung dibawah Temasek, sebuah perusahaan holding di Singapura. Temasek menguasai 63% saham Singtel dan 100% saham ST Telemedia. Dan jangan lupa, Temasek juga menguasai secara langsung 56% saham Bank Danamon dan 28% Bank Internasional Indonesia (BII).

Saya pun sempat heran ketika sahabat saya di Telkom bercerita tentang institusinya sebagai 'national flag carrier'. National flag carrier apa? Lah wong 46% saham Telkom telah dimiliki oleh para pemodal asing kok!

Politik

Bicara soal TIK itu sendiri, maka tampaknya Indonesia pun belum 'merdeka-merdeka amat' setelah 60 tahun proklamasi dikumandangkan. Penetrasi telepon tetap baru pada kisaran 10 juta satuan sambungan telepon (sst), jumlah nomor telepon selular (ponsel) yang aktif sekitar 30 juta, pengguna Internet yang baru berjumlah 15 juta orang, dan penetrasi komputer yang baru mencapai 9 juta unit. Adapun jumlah penduduk Indonesia pada Juli 2005 diperkirakan mencapai 230 juta jiwa.

Maka semakin beratlah perjoeangan kita saat ini, ketika salah satu djenderal perang kita, yaitu Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel) Basuki Yusuf Iskandar, baru-baru ini menyatakan bahwa dirinya agak 'emoh' dengan Internet karena takut 'kesambet' berbagai konten negatif dan pornografi yang ada didalamnya. Alamak!

Ketika para djenderal perang keblinger, maka saya menjadi mafhum ketika banyak para 'soldadu lapangan' kemudian beralih ke jalur politik untuk memperjoeangkan aspirasinya. Sebutlah semisal Roy Suryo dan Heru Nugroho (mantan Sekjen Asoasiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia - APJII) yang belum lama berselang mendeklarasikan bergabungnya diri mereka ke Partai Demokrat.

Kemudian masih segar dalam ingatan kita ketika Mas Wigrantoro Roes Setiyadi (kini Ketua Masyarakat Telematika - Mastel) menjadi salah satu calon legislatif DPR-RI pada Pemilu 2004 silam dari Partai Bintang Reformasi, bersama dengan Rudy Rusdiah (kini Ketua APW Komitel) dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Sepanjang berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan bangsa melalui penguasaan dan pemanfaatan TI, itu tak masalah. Lain halnya jika TI hanya digunakan sebagai sarana berpolitik demi kepentingan yang sempit dan naif, mari kita ganyang ramai-ramai.

Dotcom

Satu hal lagi, coba Anda ketikkan 'indonesia' pada mesin cari Google.com. Maka hasil yang muncul paling atas adalah informasi Indonesia yang 'dikuasai' oleh The World Factbook milik CIA - Amerika Serikat. Sedangkan jika kita mencari menggunakan situs Yahoo.com, maka hasil teratas adalah http://portal.lin.go.id, yang jika di-klik akan muncul 'under construction'.
Bagaimana mau bertempur di era informasi, bahkan untuk mengelola identitas diri sendiri pada ranah informasi di Internet (baca: dotcom) saja kita masih kepayahan.

Belum lagi soal sengketa pengelolaan domain .ID, tak kunjung terbentuknya kepengurusan definitif Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI), e-government yang plintat-plintut, rebutan pengelolaan Single Identity Number (SIN) antar institusi pemerintah, pelanggaran hak cipta piranti lunak di depan mata aparat penegak hukum, hingga berbagai kasus cybercrime di tanah air.

Bahkan kini beberapa komunitas TI, yang notabene adalah pendjoeang informasi, lebih suka mengumbar protes dan ejekan melalui Internet, serta bangga mengorek-ngorek kesalahan pihak lain dan memamerkannya, ketimbang langsung terjun bertindak memberikan solusi dan membantu memperbaiki keadaan. Memang, talk is cheap!

Merasa paling benar, memaksakan kehendak, ogah bernegosiasi, tak mempan dikritik, hipokrit serta oportunis, kata orang tak lebih seperti, maaf, cecunguk. Dan sayangnya, mungkin sudah terlalu banyak cecunguk di antara kita. Sudahlah, musuh kita terlalu besar untuk dihadapi dengan cara carut-marut seperti ini. Keanekaragaman adalah berkah, kebhinnekaan adalah indah.

Mungkin kita adalah bangsa yang pernah terjajah, tetapi pendahulu kita punya satu tujuan besar, sehingga melahirkan negara Indonesia yang berdaulat. Dan mungkin kini Indonesia kembali 'terjajah', secara ekonomi dan budaya, bertekuk lutut di bawah bidikan senjata informasi yang mengarah tepat di kepala sebagian besar masyarakat kita.

Kini kita, Anda dan saya tentunya, sebagai pedjoeang informasi, bidik dan tembaklah senjata ke arah musuh yang benar. Gunakan TI dan informasi di Internet (dotcom) untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, negara, sumber daya dan aset kekayaan kita. Tak jadi soal, meskipun kita harus jungkir-balik berdotcom ala politik ataupun berpolitik ala dotcom. Kecuali kalau Anda memang lebih memilih menjadi cecunguk.


Sumber naskah asli: www.detikinet.com

Monday, August 01, 2005

Weekly Review: Antara Mahasiswa dan Tukang Ketoprak...

Senin , 01/08/2005 01:56 WIB
Weekly Review: Antara Mahasiswa dan Tukang Ketoprak...
Penulis: Donny B.U. - detikInet

Jakarta, (Weekly Review). Beberapa hari silam saya kebetulan harus mengisi sebuah workshop sehari tentang jurnalisme online di sebuah kampus, di bilangan Jakarta Pusat. Program tersebut memang diadakan oleh pihak kampus bagi mahasiswa komunikasi dengan tujuan agar mereka bisa mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang jurnalisme online.

Pada sesi pembukaan, saya mencoba mengawali dengan pertanyaan, "ada yang bisa menjelaskan tentang konvergensi?" Hening! "Atau setidaknya siapa yang pernah mendengarnya," tanya saya agak mendesak. Sedetik dua detik, kemudian salah satu dari peserta menjawab, "saya pernah baca di koran, tetapi tidak tahu artinya."

Sontak saya berpikir, jangan-jangan memang tidak pada tempatnya saya menanyakan tentang konvergensi kepada mereka. Lho, tetapi konvergensi kan juga "menyeret" media (massa) juga, tidak sekedar teknologinya saja. Harusnya, setidaknya menurut saya, sebagai mahasiswa komunikasi mereka tahu tentang konvergensi.

Konvergensi TI

Penasaran, saya lemparkan pertanyaan lain kepada mereka, "adakah yang sudah mendapatkan materi pengantar teknologi informasi, seperti internet atau komputer pada semester-semester sebelumnya?" Respon mereka bisa ditebak, celingak-celinguk kebingungan. Alamak, padahal saat itu saya tengah berdiri di dalam sebuah ruang kelas yang dipenuhi dengan PC multimedia tercanggih, full akses Internet, dengan rasio 1 PC untuk 1 mahasiswa.

Saya tidak tahu kesalahan ada dimana. Pikir saya saat itu, semangat yang melandasi lahirnya jurnalisme online adalah terakselerasinya diseminasi informasi melalui teknologi informasi (TI). Dan dengan semangat konvergensi, jurnalisme online kini sudah tak sama dengan sekedar meng-online-kan media massa.

Ketika media massa sudah bisa dibaca, didengar ataupun ditonton melalui ponsel, ketika citizen journalism atawa blog makin diperhitungkan keberadaannya, dan ketika tingkat partisipasi dan interaksi audience menjadi salah satu penentu kualitas suatu berita, maka agak berat rasanya jika kita bicara konvergensi, apalagi soal tren jurnalisme, tanpa dibarengi dengan pemahaman tentang TI yang cukup.

Bahkan sekelebat saya sempat berpikir, yang disebut "online" seharusnya medianya, bukan "jurnalisme"-nya. Karena kaidah jurnalistik tidak membedakan antara yang online maupun yang tidak. Online atau tidak hanyalah menegaskan pada "melalui apa" suatu berita disampaikan kepada pembaca, bukan pada "bagaimana" berita itu dibuat.

Tidak Wajib

Karena akan aneh rasanya jika nanti orang terbiasa membaca berita melalui ponsel, kemudian lahirlah "mobile journalism", alias jurnalisme bergerak. Kalau ada jurnalisme bergerak, berarti ada jurnalisme yang tidak bergerak? Kalau memang ada jurnalisme online, berarti ada jurnalisme offline? Ah, itu tak penting untuk dipikirkan sekarang. Nanti sajalah.

Pikiran saya pun segera beralih pada kejadian beberapa bulan silam, ketika saya mengikuti rapat antar fakultas ekonomi se-Jakarta di suatu kampus daerah Senayan. Salah satu topik yang dibahas saat itu adalah tentang wajib-tidaknya mata kuliah semacam pengantar teknologi informasi diajakan di jurusan non-eksakta, semisal jurusan akuntansi ataupun manajemen.
Ketika itu saya menyampaikan argumen saya tentang pentingnya pemahaman dasar tentang TI didapatkan oleh seluruh mahasiswa, tidak peduli apapun jurusannya. Sayang, keputusan yang diambil ketika itu adalah "tidak wajib".

Alasannya, "kami tidak punya cukup sumber daya untuk menjalankan mata kuliah tentang TI." Sumber daya yang dimaksud adalah dari soal infrastruktur, materi hingga tenaga pengajar.

Tukang Ketoprak

Saya punya keyakinan, TI bukan milik kaum teknokrat, mahasiswa eksakta/komputer ataupun orang teknis belaka. Ilmu TI haruslah ilmu melayani, termasuk melayani ilmu lainnya, semisal ilmu ekonomi ataupun sosial. Sehingga menggunakan TI tidaklah demi TI itu sendiri, tetapi bagi aspek kehidupan bermasyarakat, semisal berpolitik ataupun berberkomunikasi.

Sehingga keberanian mengaku sebagai orang TI seharusnya sejalan dengan kemauan dan kemampuan untuk melayani (orang lain), bukan malah menghujat, mengecam ataupun memaki sesuatu ataupun seseorang atas nama TI.

Jadi, saya "terpaksa" maklum sembari tersenyum kecut, ketika kini menghadapi mahasiswa yang nyaris buta TI, termasuk Internet. Pikiran saya menerawang kembali, ketika beberapa bulan silam berbincang dengan abang tukang ketoprak yang rutin lewat depan rumah saya di Depok.

"Sudah pernah pakai Internet?" tanya saya penasaran kepada si abang, lantaran saya melihat tulisan "www.gaul.com" pada bagian depan gerobak ketopraknya.
"Wah ya saya tahunya ya cuma tempatnya aja, di warnet-warnet," jawab si abang. "Tetapi saya mau coba pakai (Internet) kapan-kapan," tambahnya. Sempat kaget juga saya, ketika sejurus kemudian dia lumayan fasih menceritakan apa yang dia pahami tentang Internet.

Saya kembali tersadar tengah di depan kelas dengan mahasiswa yang sedang ketak-ketik di keyboard, entah mengetik apa. Saya lantas merenung, "nah lho, tukang ketoprak saja sudah (mau) pakai Internet..."


Sumber naskah asli: www.detikinet.com